Registrasi Unicode Carakan Jawa

Tanggal 1 Oktober 2009 dadi tenger sujarah tumrap Carakan Jawa. Wiwit wektu iku, Carakan Jawa kacathet ana ing Unicode Consortium, peranganing bebadan UNESCO kang duweni ayahan nylametake aksara-aksara tradisional ing donya.
Wong Jawa prelu bungah lan muji syukur marang Gusti Kang Maha Agung, dene aksarane wis resmi diregistrasi dening UNESCO.
Parepatan lan pirembugan bab aksara utawa carakan Jawa wus lumaku sawetara wektu wiwit Kongres Basa Jawa I ing taun 1991. Bebarengan karo lumakune kongres iki, pamarentah nampa sumbangan mesin ketik lan mesin cetak aksara Jawa saka Walanda. Wiwit wektu iku banjur padha kagugah handhudhah carakan Jawa.
Sadurunge Kongres Basa Jawa IV Taun 2006 diadani parepatan utawa workshop komputerisasi carakan Jawa. Ana ing temu wicara wektu iku, akeh banget wawasan, usulan, panyaruwe, pamrayoga, lan panukarta prelune ayahan revitalisasi lan komputerisasi aksara Jawa.


Sawise parepatan diadani ing Yogyakarta, Solo lan Surabaya, komputerisasi Carakan Jawa kasil diwujudake wewaton panaliten ing tlatah Lombok, Bali, Jawa Timur, Solo, Yogyakarta, Pondhok Pesantren Gontor, lan liya-liyane. Sumber referensi sing digunakake uga akeh, wiwit Wewaton Sri Wedari 1926, cakrik aksara Jawa Yogyakarta, Serat Sastra Harjendra, lan buku-buku saka Walanda.
Putusan utawa asil parepatan kang diadani kaping lima, banjur nuwuhake tekad supaya Carakan Jawa aja mung dadi sesanti lan ditulis ana ing plang-plang dalan, ing gapura, gedhong-gedhong, lan wewangunan liyane. Aksara Jawa prelu manjing ing alam global. Aksara Jawa prelu ngrembaka ing jaringan Internet. Carakan Jawa prelu ngrenggani, mratah lan sumrambah ing jagad maya.
Panjangka kang kaya mangkono banjur nemu dalan sawise Tim Teknis kang diparagani dening Hadi Waratama saka LAPI ITB, Bagiono Djoko Sumbogo saka Depdiknas, Ki Demang Sokowaten, Ki Sutadi lan sinengkuyung dening para pakar lan paraga liyane kang ora bisa sinebut siji mbaka siji, padha sowan konsultasi marang gubernur Jawa Tengah lan Pusat Bahasa Depdiknas
Wiwit wektu iku banjur diadani korespondensi karo bebadan Unicode Consortium UNESCO. Ana paraga kang onja ing babagan iki, yaiku Dr Deborah Anderson saka Berkeley University lan Mr Michael Everson pakar aksara tradhisional ing Unicode Consortium. Michael Everson saka Irlandia rawuh lan naliti kahanane aksara Jawa ana ing Solo lan Yogyakarta rikala tanggal 3-12 September 2007.
Sawise nginventarisasi lan naliti Carakan Jawa ing Museum Radyapustaka, Reksapustaka Pura Mangkunagaran, Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Komite Basa Jawi Surakarta, lan studi lapangan ana ing tlatah Solo lan Yogyakarta, banjur kasil ngracik proposal kang sinebut The Javanese Script Proposal for Unicode Consortium (JSUP). Proposal registrasi banjur diuji lan di-validasi ing forum Unicode Consortium ing taun 2008-2009.
Usulan utawa proposal kang sinebut JSUP diputusake lolos lan lulus dening UNESCO. Tanggal 1 Oktober 2009 dadi tenger manawa Carakan Jawa wus kacathet ana ing Unicode Consortium Standard Version 5.2 lan ISO-IEC 10646.
Ngrembakane situs-situs aksara Jawa gumantung para pakar, nimpuna, lan para pandhemen-panggilut carakan Jawa. Sanadyan wektu iki akeh kang “wuta” aksara Jawa , muga-muga ora dadi pepalang nulis aksara Jawa ana ing komputer. Pelatihan ngenani nulis aksara jawa nganggo komputer prelu diusulake lan diadani. (Ki Sutadi, paraga tim registrasi Carakan Jawa ing Unicode)
SUMBER :

Sopir pikap jadi tersangka Lakalantas di Giritontro


Wonogiri
Polisi menetapkan sopir pikap, Hartanto, warga Purembe, Tlogoharjo, Giritontro, Wonogiri sebagai tersangka dalam kecelakaan tunggal yang menewaskan satu penumpangnya.

Penyidik Satlantas Polres Wonogiri, Sabtu kembali ke TKP untuk mengumpulkan bukti-bukti dan memeriksa saksi. Namun hasil penyelidikan sementara, penyebab kecelakaan karena kelalaian sopir.
Penegasan tersebut disampaikan Kapolres Wonogiri AKBP Nanang Avianto melalui Kasatlantas AKP Sukmawati saat ditemui Espos di kantornya, Sabtu (28/11). “Sesuai undang-undang, penggunaan kendaraan berpelat nomor hitam tidak diperbolehkan, kecuali di daerah yang memang tidak terjangkau oleh angkuta umum. Jadi untuk Pulau Jawa, keberadaan angkuta pelat hitam dan pikap dilarang untuk mengangkut penumpang,” tandasnya.


Kasatlantas mengaku prihatin dan terheran-heran, kenapa masyarakat dan pemilik jasa angkuta masih nekat mengangkut penumpang dengan bak terbuka. “Sosialisasi kepada masyarakat sudah kami lakukan. Bahkan sudah diimbau, ditegur dan dilakukan penindakan, tapi kenapa tidak juga jera? Kejadian di Giritontro itu karena kelalaian sopir, sehingga dia (sopir) kami tetapkan sebagai tersangka.”
Pada kesempatan itu Kasatlantas juga menyatakan kalau korban Ny Kiyem, 60, meninggal setelah dilarikan ke rumah sakit. Selain itu, Kasatlantas juga mengatakan penumpang yang terluka juga sudah diperbolehkan kembali ke rumah setelah mendapatkan perawatan tim medis.
Lebih lanjut Kasatlantas berkata, untuk memastikan kejadian pihaknya memerintahkan Kanitlaka Iptu Gunawan untuk melakukan pengecekan ulang ke lokasi kejadian. “Satu tim kami minta ke TKP lagi, sekaligus membantu penanganan bencana alam di Giritontro. Baik soal pengaturan lalu lintas ataupun membantu gotong royong membersihkan reruntuhan pohon atau genting rumah.”

Jatipurno : Berjalan 2 km untuk tumbuhkan cinta batik

Bagi orangtua, menunggui anak sekolah tidaklah membosankan. Apalagi ketika anak-anak itu bertingkah laku lucu. Seperti yang mereka lakukan saat mengikuti parade batik, Selasa (24/11).

Dengan mengenakan pakaian batik, anak-anak usia dini hingga SLTA dan guru-guru, berjalan kaki sejauh dua kilometer. Bocah TK itu terlihat imut-imut saat mengenakan pakaian batik. Namun ada juga anak-anak usia sekitar 3-4 tahun itu langsung duduk dan terlihat cemberut.
Kenapa? Ternyata sepatu bagian belakang tersenggol temannya sehingga terlepas. Akibatnya, barisan mulai berjalan, dia merasa terganggu. ”Yoo...sepatu saya lepas.”
Orangtua anak dan guru yang mendengar pun memperbaikinya dan mengajaknya berjalan lagi. Di hadapan Sekda Wonogiri H Suprapto dan Kepala Dinas Pendidikan Wonogiri, H Suparno, mereka memberikan hormat.


Batik Wonogiren
Parade batik yang diikuti ribuan siswa, guru dan masyarakat itu kali pertama digelar di Kecamatan Jatipurno sejak pengakuan UNESCO atas batik Indonesia.
Setelah parade, siswa dan guru mewakili sekolah berlomba di ajang fashion show, diikuti 27 SD, 15 TK, 11 PAUD, 4 SMK dan 1 SMP. Sebelumnya, Sekda dan tamu undangan disuguhi musik lesung dan tari-tarian.
Kepala Unit Pelaksana teknis (UPT) Disdik Jatipurno, Tariyo, mengatakan parade batik bertujuan untuk menanamkan rasa cinta karya anak negeri. “Juga memberi rasa bangga terhadap batik sebagai warisan leluhur. Kami berharap dengan parade batik, ada imbauan dari Pemkab agar ada seragam batik ciri khas Wonogiren mulai PAUD hingga SLTA.”
Camat Jatipurno Edy Tri H menambahkan parade batik diharapkan mampu memberdayakan masyarakat. Sedangkan Sekda H Suprapto mengakui batik Wonogiren belum mampu bersaing di pasar karena faktor kualitas dan harga.
“Ongkos produksi batik Wonogiren cukup tinggi karena masih diproduksi secara tradisional sehingga kalah dengan mesin. Namun demikian, bukan berarti harus minder atau loyo. Pemkab mudah-mudahan bisa memberikan dukungan modal, sehingga mampu mengangkat usaha ekonomi di masyarakat.”

Bung Karno : “Sumbangan dan pengorbanan PKI besar sekali!”


Berikut di bawah ini disajikan cuplikan dari sebagian pidato Presiden Sukarno di depan rapat umum Front Nasional di Istora Senayan Jakarta, tanggal 13 Februari 1966.. Pidatonya ini diucapkannya 4 bulan sesudah terjadinya G30S, ketika Angkatan Darat di bawah pimpinan Suharto sudah mulai secara besar-besaran membunuhi, atau menangkapi, atau menyiksa para pemimpin PKI dan tokoh-tokoh berbagai organisasi masa (antara lain : buruh, tani, nelayan, pegawai negeri, wanita, mahasiswa, pelajar, intelektual, seniman) di seluruh Indonesia.


Agaknya, patut dicatat bahwa pidato Bung Karno di depan rapat umum Front Nasional ini diucapkannya ketika golongan militer di bawah pimpinan Suharto-Nasution sudah terang-terangan mulai melakukan “kudeta merangkak” secara bertahap dan juga merongrong atau merusak kewibawaannya.


Cuplikan sebagian pidatonya ini, diambil dari buku “Revolusi Belum Selesai” halaman 422, 423 , 424, dan 425 Buku “Revolusi Belum Selesai” tersebut terdiri dari 2 jilid, dan berisi lebih dari 100 pidato-pidato Bung Karno, yang diucapkannya di berbagai kesempatan sesudah terjadinya G30S sampai pidatonya tentang Nawaksara 10 Januari 1967. Karena sesudah terjadinya G30S, boleh dikatakan bahwa semua media massa (pers, majalah, TV dan radio ) dikuasai atau dikontrol keras Angkatan Darat, maka banyak sekali (atau hampir semua) pidato-pidato Bung Karno di-black out atau diselewengkan atau dimanipulasi., sehingga tidak diketahui oleh umum secara selayaknya.

Isi buku “Revolusi belum selesai “ ini menyajikan berbagai hal penting yang berkaitan dengan fikiran atau pandangan Bung Karno tentang perlunya persatuan revolusioner bangsa Indonesia dalam mencapai masyarakat adil dan makmur atau sosialisme à la Indonesia, menentang imperialisme AS, melawan neo-kolonialisme dalam segala bentuknya, menjaga persatuan bangsa dan kesatuan Republik Indonesia dan juga mengenai G30S. Karena itu, di samping buku “Di bawah Bendera Revolusi” yang juga merupakan kumpulan tulisan dan pidato-pidatonya selama perjuangannya sejak muda, maka buku “Revolusi Belum Selesai” merupakan dokumen sejarah Indonesia yang amat penting untuk dijadikan khasanah bangsa Indonesia.

Mengingat pentingnya berbagai isi buku “Revolusi belum selesai” ini untuk mengenal lebih jauh dan lebih dalam lagi gagasan atau ajaran Bung Karno, maka website http://kontak.club.fr/index.htm akan sesering mungkin menyajikan cuplikan-cuplikannya. Kali ini disajikan pendapat Bung Karno mengenai sumbangan atau jasa-jasa PKI dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Apa yang diungkapkannya secara tegas, jujur, dan terang-terangan tentang PKI, merupakan hal-hal yang patut menjadi renungan kita bersama.

Penghargaan Bung Karno terhadap perjuangan PKI mempunyai bobot penting dan besar sekali. dalam sejarah perjuangan bangsa. Karena, penghargaan ini datang dari seorang bapak besar bangsa, yang dalam sepanjang hidupnya telah membuktikan diri dengan jelas sebagai seorang pemimpin nasionalis, yang juga muslim dan sekaligus marxis. Sangatlah besar artinya, ketika ia mengatakan bahwa sumbangan PKI dalam perjuangan untuk kemerdekaan adalah paling besar dibandingkan dengan partai-partai atau golongan yang mana pun, bahkan termasuk PNI yang telah ia dirikan sendiri.

Apa yang dikatakan Bung Karno ini amat penting untuk diketahui oleh rakyat Indonesia berikut generasi yang akan datang. Karena, selama lebih dari 40 tahun masalah PKI ini dipakai oleh Suharto bersama jenderal-jenderalnya sebagai alat untuk menjatuhkan kekuasaan dan kewibawaan Bung Karno dan menghancurkan kekuatan kiri atau revolusioner yang mendukung politiknya. Racun yang disebarkan oleh rejim militer Orde Baru secara terus-menerus, intensif, luas, dan menyeluruh ini, sampai sekarang masih bisa mempengaruhi fikiran sebagian masyarakat kita.Salah satu buktinya ialah apa yang disiarkan oleh koran Duta Masyarakat tanggal 18 dan 19 Januari 2009. (Harap para pembaca menyimak ucapan-ucapan Asisten Intelijen Kasdam I/Bukit Barisan, Kolonel (Inf) Arminson, dalam tulisan di harian tersebut yang berjudul “Lewat kaos, parpol hingga film).

Cuplikan sebagian pidato Bung Karno mengenai PKI ini menunjukkan betapa besar dan jauhnya gagasan atau idam-idamannya tentang persatuan revolusioner yang dirumuskannya dalam konsep Nasakom. Ini terasa lebih penting dan menonjol sekali, kalau kita ingat bahwa pidatonya ini diucapkannya (dalam bulan Februari 1966) ketika Suharto bersama jenderal-jenderalnya sudah melakukan berbagai langkah besar-besaran untuk menghancurkan PKI.


Cuplikan dari pidato Bung Karno :

(Catatan : teks cuplikan pidato ini diambil oleh penyusun buku “Revolusi belum selesai” dari Arsip Negara, dan disajikan seperti aslinya. Kelihatannya, pidato Bung Karno ini diucapkannya tanpa teks tertulis, seperti halnya banyak pidato-pidatonya yang lain yang juga tanpa teks tertulis).

“Nah ini saudara-saudara, sejak dari saya umur 25 tahun, saya sudah bekerja mati-matian untuk samenbundeling (penggabungan) ) semua revolutionaire krachten (kekuatan revolusioner) buat Indonesia ini. Untuk menggabungkan menjadi satu semua aliran-aliran, golongan-golongan, tenaga-tenaga revolusioner di dalam kalangan bangsa Indonesia. Dan sekarang pun usaha ini masih terus saya jalankan dengan karunia Allah S W T. Saya sebagai Pemimpin Besar Revolusi, sebagai Kepala Negara, sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, saya harus berdiri bukan saja di atas semua golongan, tetapi sebagai ku katakan tadi, berikhtiar untuk mempersatuan semua golongan.

“Ya golongan Nas, ya golongan A, ya golongan Kom. Kita punya kemerdekaan sekarang ini, Saudara-saudara, hasil daripada keringat dan darah, ya Nas, ya A, ya Kom. Jangan ada satu golongan berkata, ooh, ini kemerdekaan hanya hasil perjuangan kami Nas saja. Jangan ada satu golongan berkata, ooh, ini kemerdekaan adalah hasil daripada perjuangan-perjuangan kami A saja. Jangan pula ada golongan yang berkata, kemerdekaan ini adalah hasil daripada perjuangan kami, golongan Kom saja.

“Tidak .Sejak aku masih muda belia, Saudara-saudara, aku melihat bahwa golongan-golongan ini semuanya, semuanya membanting tulang, berjuang, bahkan berkorban untuk kemerdekaan Indonesia. Saya sendiri adalah Nas, tapi aku, demi Allah, tidak akan berkata kemerdekaan ini hanya hasil dari pada perjuangan Nas. Aku pun orang agama, bisa dimasukkan dalam golonban A, ya pak Saifuddin Zuhri, saya ini ? Malahan, saya ini oleh dunia Islam internasional diproklamir menjadi Pahlawan Islam dan Kemerdekaan. Tetapi demi Allah, demi Allah, demi Allah SWT, tidak akan saya berkata bahwa perjuangan kita ini, hasil perjuangan kita, kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan daripada A saja.

“Demikian pula aku tidak akan mau menutup mata bahwa golongan Kom, masya Allah, Saudara-saudara, urunannya, sumbangannya, bahkan korbannya untuk kemerdekaan bukan main besarnya. Bukan main besarnya !

“Karena itu, kadang-kadang sebagai Kepala Negara saya bisa akui, kalau ada orang berkata, Kom itu tidak ada jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, aku telah berkata pula berulang-ulang, malahan di hadapan partai-partai yang lain, di hadapan parpol yang lain, dan aku berkata, barangkali di antara semua parpol-parpol, di antara semua parpol-parpol, ya baik dari Nas maupun dari A tidak ada yang telah begitu besar korbannya untuk kemerdekaan Indonesia daripada golongan Kom ini, katakanlah PKI, Saudara-saudara.

“Saya pernah mengalami. Saya sendiri lho mengalami, Saudara-saudara, mengantar 2000 pemimpin PKI dikirim oleh Belanda ke Boven Digul. Hayo, partai lain mana ada sampai ada 2000 pimpinannya sekaligus diinternir, tidak ada. Saya pernah sendiri mengalami dan melihat dengan mata kepala sendiri, pada satu saat 10 000 pimpinan daripada PKI dimasukkan di dalam penjara. Dan menderita dan meringkuk di dalam penjara yang bertahun-tahun.

“Saya tanya, ya tanya dengan terang-terangan, mana ada parpol lain, bahkan bukan parpolku, aku pemimpin PNI, ya aku dipenjarakan, ya diasingkan, tetapi PNI pun tidak sebesar itu sumbangannya kepada kemerdekaan Indonesia daripada apa yang telah dibuktikan oleh PKI. Ini harus saya katakan dengan tegas.

“Kita harus adil, Saudara-saudara, adil, adil, adil, sekali adil. Aku, aku sendiri menerima surat, kataku beberapa kali di dalam pidato, surat daripada pimpinan PKI yang hendak keesokan harinya digantung mati oleh Belanda, yaitu di Ciamis. Ya, dengan cara rahasia mereka itu, empat orang mengirim surat kepada saya, keesokan harinya akan digantung di Ciamis. Mengirim surat kepada saya bunyinya apa ? Bung Karno, besok pagi kami akan dihukum di tiang penggantungan. Tapi kami akan jalani hukuman itu dengan ikhlas, oleh karena kami berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Kami berpesan kepada Bung Karno, lanjutkan perjuangan kami ini, yaitu perjuangan mengejar kemerdekaan Indonesia.

“Jadi aku melihat 2000 sekaligus ke Boven Digul. Berpuluh ribu sekaligus masuk di dalam penjara. Dan bukan penjara satu dua tahun, tetapi ada yang sampai 20 tahun, Saudara-saudara. Aku pernah mengalami seseorang di Sukamiskin, saya tanya : Bung, hukumanmu berapa? 54 tahun. Lho bagaimana bisa 54 tahun itu ? Menurut pengetahuanku kitab hukum pidana tidak ada menyebutkan lebih daripada 20 tahun. 20 tahun atau seumur hidup atau hukuman mati, itu tertulis di dalam Wetboek van Strafrecht (kitab hukum pidana). Kenapa kok Bung itu 54 tahun? Ya. Pertama kami ini dihukum 20 tahun, kemudian di dalam penjara, kami masih mempropaganda-kan kemerdekaan Indonesia antara kawan-kawan pesakitan, hukuman. Itu konangan, konangan, ketahuan, saya ditangkap, dipukuli, dan si penjaga yang memukuli saya itu saya tikam mati. Sekali lagi aku diseret di muka hakim, dapat tambahan lagi 20 tahun. Menjadi 40 tahun.

“Sesudah saya mendapat vonnis total 40 tahun ini, sudah, saya tidak ada lagi harapan untuk bisa keluar dari penjara. Sudah hilang-hilangan hidup saya di dalam penjara ini, saya tidak akan menaati segala aturan-aturan di dalam penjara. Saya di dalam penjara ini terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada satu waktu saya ketangkap lagi, oleh karena saya berbuat sebagai yang dulu, saya menikam lagi, tapi ini kali tidak mati, tambah 14 tahun, 20 tambah 20 tambah 14 sama dengan 54 tahhun.

“Ini orang dari Minangkabau, Saudara-saudara. Dia itu tiap pagi subuh-subuh sudah sembahyang. Dan selnya itu dekat saya, saya mendengar dia punya doa kepada Allah SWT ; Ya Allah, ya Robbi, aku akan mati di dalam penjara ini. Tetapi sebagaimana sembahyangku ini, shalatku ini, maka hidup dan matiku adalah untuk Engkau.

“Coba; coba, coba, coba ! Lha kok ada sekarang ini golongan-golongan yang berkata bahwa komunis atau PKI tidak ada jasa di dalam kemerdekaan Indonesia ini.

“Sama sekali tidak benar ! Aku bisa menyaksikan bahwa di antara parpol-parpol malahan mereka itu yang telah berjuang dan berkorban paling besar.”

***

Demikian kutipan sebagian kecil dari amanat Presiden Sukarno di depan rapat umum Front Nasional di Istora Senayan Jakarta, tanggal 13 Februari 1966.

Seperti yang sama-sama kita lihat, amanat tersebut adalah luar biasa! Di dalamnya terkandung pesan (message) yang besar sekali kepada seluruh nasion, dan sekaligus juga peringatan keras kepada semua golongan (terutama kalangan jenderal-jenderal pendukung Suharto) yang bersikap anti-komunis.

Adalah jelas bahwa pernyataan Bung Karno tentang PKI di depan Front Nasional dalam tahun 1966 itu berdasarkan kebenaran sejarah, dan juga bahwa itu lahir dari ketulusan hatinya yang sedalam-dalamnya. Pernyataannya yang demikian itu adalah cermin dari isi atau jiwa perjuangan revolusionernya sejak muda.

Pendapat Bung Karno tentang sumbangan atau pengorbanan PKI untuk kerdekaan Indonesia menunjukkan bahwa ia adalah betul-betul pemersatu rakyat Indonesia, guru besar dan bapak bangsa, yang tidak ada bandingannya di Indonesia.

Buku Letjen (Pur) Sintong Panjaitan yang membikin heboh


Diterbitkannya buku “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” tentang berbagai pengalaman Letjen (Pur) Sintong Panjaitan,yang diluncurkan 11 Maret 2009, merupakan peristiwa yang menarik sekali dalam sejarah kemiliteran di Indonesia pada khususnya dan sejarah bangsa pada umumnya. (Letjen Sintong Panjaitan adalah mantan Panglima Kodam Udayana, yang sesudah dicopot oleh presiden Suharto sekitar tahun 1991 kemudian menjadi penasehat militer di staf khusus Presiden Habibi). Buku setebal 520 halaman yang ditulis oleh wartawan senior Hendro Subroto ini bukan merupakan biografi Sintong Panjaitan, dan juga bukan otobiografi. Melainkan serangkaian pengungkapan berbagai masalah yang terjadi di kalangan TNI, khususnya Angkatan Darat, yang berkaitan dengan sejumlah peristiwa politik penting di negeri kita.


Dari berbagai reaksi publik (lewat pers atau Internet) setelah terbitnya buku ini nampak dengan jelas bahwa munculnya buku ini di masyarakat merupakan peristiwa yang “shocking” (mengejutkan), yang buntutnya bisa panjang dan mempunyai dampak yang tidak kecil di kalangan militer pada khususnya.

Sebab, buku ini bukan saja telah membeberkan sebagian dari kekeliruan atau pelanggaran berat yang telah dilakukan kalangan militer di masa Orde Baru, tetapi juga sebagian dari tindakan-tindakan atau posisi mantan Komandan Jenderal Kopassus Letjen (Pur) Prabowo Subianto, antara lain sekitar keterlibatan Tim Mawar yang telah melakukan penculikan dan penghilangan (dalam tahun 1997-98) terhadap sejumlah aktivis-aktis PRD, kasus penembakan besar-besaran terhadap demonstran-demonstran di makam Santa Cruz (Dili, Timor Timur), tragedi Mei 1998 di Jakarta yang mengakibatkan banyak sekali korban di kalangan Tionghoa.

Apa yang dikemukakan oleh Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dalam buku ini mengenai berbagai kasus Prabowo menjadi makin menarik, dihubungkan dengan pencalonan diri Prabowo sebagai presiden RI dalam pemilihan yang akan datang. Apa sajakah dampak terbitnya buku ini terhadap diri Prabowo, marilah sama-sama kita ikuti perkembangan selanjutnya.

Selama 32 tahun hanya sedikit dibongkar kesalahan ABRI

Buku yang berisi pandangan-pandangan kritis Sintong Panjaitan tentang berbagai masalah Angkatan Darat ini menunjukkan adanya perkembangan yang menarik di kalangan pensiunan petinggi militer. Sebab, kita semua ingat bahwa selama ini tidak banyak, atau belum banyak, tokoh-tokoh di kalangan militer sendiri (baik yang sudah pensiun maupun yang masih aktif) yang berani atau bisa menyuarakan --secara tegas dan terang-terangan -- hal-hal yang kritis tentang kesalahan, pelanggaran, atau peyalahgunaan kekuasaan oleh kalangan petinggi militer rejim Orde Baru (dan sesudahnya).

Padahal, seperti yang dialami sendiri oleh banyak orang, selama 32 tahun rejim Orde Baru telah terjadi banyak sekali kejahatan besar atau pelanggaran serius di bidang politik, ekonomi, sosial, Ham, termasuk korupsi yang merajalela di kalangan militer, yang kebanyakan dilakukan di bawah naungan Dwifungsi ABRI. Namun, selama 32 tahun itu (dan ini jangka waktu yang lama sekali, sekitar separoh dari umur Republik kita !), hanya sedikit sekali di antaranya yang dapat dibongkar atau diselesaikan secara hukum dan keadilan. Rejim militer telah berusaha -- dengan segala daya dan cara -- untuk menutupi, atau menyembunyikan, atau melindungi segala kebobrokan di kalangan militer. Dan ini berlangsung sampai Suharto dipaksa turun dari jabatannya.

Mengingat besarnya dosa-dosa para petinggi militer dan luasnya kejahatan-kejahatan atau pelanggaran serius yang dilakukan selama puluhan tahun itu, maka apa yang diungkapkan Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dalam buku ““Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” adalah sumbangan yang sangat penting dan berharga sekali dalam menegakkan kebenaran mengenai sejumlah peristiwa-peristiwa dalam sejarah kemiliteran Indonesia. Setidak-tidaknya, ungkapan-ungkapannya itu bisa merupakan pelengkap untuk menilai berbagai persoalannya dari sudut pandang yang berbeda-beda.

Militer dibikin Suharto menjadi musuh rakyat

Bagi kita semua adalah amat penting dan sangat perlu untuk bisa melihat persoalan militer Indonesia dengan kacamata yang jernih dan pandangan yang luas dalam rangka sejarah bangsa dan demi kepentingan anak cucu kita. Sebab, adalah hal yang patut diprihatinkan atau disedihkan oleh kita semua bahwa militer Indonesia pernah dijadikan oleh Suharto beserta para jenderalnya musuh bagi rakyat Indonesia selama 32 tahun. Dengan pengkhianatan besar-besaran dan terang-terangan terhadap Bung Karno, tokoh besar anti-imperialis yang jarang tandingannya di dunia, Suharto beserta para jenderalnya telah memisahkan kalangan militer dari ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, bahkan memusuhinya. Dan adalah jelas sekali bahwa memusuhi ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah pada hakekatnya memusuhi dan mengkhianati kepentingan rakyat banyak.

Dalam sejarah bangsa kita, generasi kita yang sekarang dan juga yang akan datang, perlu mencatat bahwa militer Indonesia di bawah Suharto sama sekali bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan, atau dihormati, atau dihargai, atau disayangi oleh sebagian terbesar rakyat kita. Seperti yang sudah disaksikan oleh banyak orang selama puluhan tahun, militer di bawah Suharto bukanlah pengayom rakyat, bukan pembela kepentingan rakyat, bukan pelindung rakyat. Perlu sekali ditulis dalam sejarah bangsa Indonesia, untuk bisa dilihat oleh anak-cucu kita di kemudian hari, bahwa diktatur militer Suharto adalah aib terbesar bangsa kita dan dosa terberat yang tidak boleh terulang lagi untuk kedua kalinya.

Sintong Panjaitan, Agus Wirahadikusumah dan Saurip Kadi

Dari sudut pandang inilah nampak pentingnya peluncuran buku yang berisi sebagian pandangan Letjen (Pur) Sintong Panjaitan tentang berbagai persoalan Angkatan Darat termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan segi-segi “gelap” kasus Prabowo, yang pernah menjadi komandan pasukan Kopassus dan panglima KOSTRAD. Berbagai ungkapannya tentang Prabowo ini merupakan bahan tambahan yang berguna bagi kita semua untuk melihat sosoknya sebagai capres dan tingkah lakunya dari macam-macam segi.

Sumbangan Letjen (Pur) Sintong Panjaitan juga menambah deretan pengkritik kesalahan-kesalahan pimpinan militer di bawah Suharto, yang pernah diajukan – dalam kadar yang berbeda-beda dan latar-belakang yang berlain-lainan pula – oleh antara lain alm Letjen Agus Wirahadikusumah (mantan Panglima KOSTRAD) dan Mayjen (Pur) Saurip Kadi (asisten teritorial KSAD).

Letjen Agus Wirahadikusumah dipandang oleh banyak kalangan sebagai reformis di bidang militer, berfikiran kritis tentang kesalahan dan kekurangan ABRI, dan menyuarakan soal-soal yang dianggap taboo oleh kebanyakan jenderal-jenderal lainnya. Bersama-sama dengan petinggi militer lainnya, antara lain Mayjen Saurip Kadi, dalam tahun 2000 ia telah membikin heboh di kalangan tingkat tinggi militer dengan adanya pertemuan-pertemuan di rumahnya yang melahirkan “Dokumen Bulak Rantai”. Kegiatan Letjen Agus Wirahadikusumah dan Mayjen Saurip Kadi untuk mengadakan reformasi di kalangan TNI ini ditentang oleh banyak jenderal lainnya yang setia dan patuh kepada segala perintah atau politik Suharto.

Pentingnya karya-karya kritis para petinggi militer

Karena besarnya desakan para jenderal pendukung Suharto inilah akhirnya baik Letjen Agus Wirahadikusumah maupun Mayjen Saurip Kadi “dikotakkan” (dicopot dari jabatannya). Letjen Agus Wirahadikusumah kemudian wafat (dalam tahun 2001) dengan mendadak di rumahnya, sedangkan Mayjen Saurip Kadi menekuni pengamatan bidang politik dan kenegaraan. Karya Mayjen Saurip Kadi yang terkenal adalah bukunya “TNI-AD, dahulu, sekarang dan masa depan” yang diterbitkan oleh Grafiti (Pusat Studi Masalah-masalah militer) dalam tahun 2000. Dalam buku ini ia telah mengungkap dengan cukup berani banyak kesalahan atau pelanggaran TNI-AD selama Orde Baru.

Akhir-akhir ini (tahun 2008) Mayjen (Pur) Saurip Kadi menerbitkan buku “Mengutamakan rakyat” (228 halaman, cetakan huruf kecil), yang merupakan karya penting seorang mantan petinggi militer yang kritis terhadap berbagai praktek Orde Baru dan juga banyak mengajukan fikiran-fikiran baru mengenai pengelelolaan negara dan pemerintahan, yang menguntungkan kepentingan rakyat banyak. Dibandingkan dengan karya-karya para mantan petinggi militer lainnya, karya Mayjen (Pur) Saurip Kadi ini termasuk yang paling berani, paling menyeluruh mengenai banyak persoalan penting negara dan bangsa kita dewasa ini. Buku ini disajikan dalam bentuk wawancara (interview) panjang dengan seorang sahabatnya yang bernama Liem Siok Lan.

Terbitnya buku “Perjalanan seorang prajurit Para Komando” (oleh Letjen Sintong Panjaitan) dan pernyataan-pernyataan Letjen Agus Wirahadikusumah dan buku-buku yang diterbitkan oleh Mayjen Saurip Kadi merupakan sebagian kecil sekali (tetapi sangat penting) dari usaha bersama untuk menelaah atau membongkar kesalahan, pelanggaran, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi ,kejahatan terhadap HAM, yang pernah dilakukan bertubi-tubi dan selama puluhan tahun pula oleh para petinggi militer di bawah pimpinan Suharto.

Di bawah Suharto, militer adalah musuh rakyat

Selama ini, sampai sekarang, tidak banyak atau belum banyak, petinggi militer (yang aktif maupun yang sudah pensiun) yang berani dengan tegas atau terus terang mengkritik berbagai kesalahan atau dosa-dosa Suharto beserta Orde Barunya. Padahal, sejak lama selama puluhan tahun, melalui kediktatoran militernya yang sangat kejam, bengis, dan kadang-kadang menyerupai fasis, Suharto dan para jenderal pendukugnya telah melakukan berbagai kejahatan serius atau pelanggaran besar di bidang politik, sosial, ekonomi yang membikin sengsaranya sebagian terbesar rakyat Indonesia.

Kejahatan, pengkhianatan, pelanggaran, penyalahgunaan kekuasaan oleh Suharto beserta para jenderal pendukungnya tidak saja dilakukan terhadap Bung Karno berikut pendukung-pendukungnya (terutama golongan kiri, termasuk PKI) melainkan juga terhadap semua orang yang berani menentang atau tidak setuju dengan politik dan tindakan-tindakannya.

Karena itu, tidak salahlah kalau ada kalangan atau golongan yang mengatakan bahwa, pada hakekatnya atau pada dasarnya, selama pemerintahan di bawah Suharto, militer adalah penindas rakyat, atau, bahwa militer adalah musuh rakyat. Suharto telah menjadikan militer sebagai alat penggebuk rakyat (ingat : peran Kopkamtib, Kodim dan Korem, Babinsa, Siskamling, surat bebas G-30S, surat bersih diri dll dll).. Militer telah dijadikan anjing penjaga keselamatan singgasana Suharto yang , seperti disaksikan oleh banyak sekali orang di dalam dan luar negeri, penuh dengan korupsi,kolusi dan nepotislme.

Suharto, bekas serdadu KNIL yang mengkhianati Bung Karno

Kerusakan mental di kalangan militer (terutama tingkat tingginya), dan pembusukan jiwa kerakyatannya, atau hilangnya sama sekali jiwa kerevolusionerannya, adalah akibat bimbingan yang sesat dari seorang bekas serdadu KNIL (atau tentara kolonial Belanda) yang telah dengan cara-cara licin dan licik telah berhasil menggulingkan kekuasaan Bung Karno. Dilihat dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kerusakan besar di kalangan militer ini adalah terutama akibat “kepemimpinan” Suharto. Sekarang tambah nyatalah bahwa Suharto bukanlah sama sekali tokoh panutan bagi kalangan militer,. Suharto bukanlah contoh yang pantas ditiru oleh militer yang baik. Suharto bukanlah pahlawan pula.

Sikap Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dan Mayjen (Pur) Saurip Kadi yang membongkar aspek-aspek negatif dari kalangan petinggi militer (terutama Angkatan Darat) perlu disambut dengan gembira oleh semua kalangan dan golongan yang menginginkan adanya perbaikan di kehidupan bangsa dan negara kita. Kita bisa berharap bahwa makin banyak muncul tokoh-tokoh militer (atau mantan militer) yang memiliki sikap atau pandangan yang serupa atau searah, bahkan yang melebihi mereka (Sintong Panjaitan, Agus Wirahadikusumah, dan Saurip Kadi).

Perkembangan situasi di Indonesia dewasa ini sudah dengan jelas menunjukkan bahwa diperlukan adanya makin banyak tokoh-tokoh militer (atau mantan) yang berani dengan tegas, terang-terangan, dan jelas-jelas mengajukan kritik tajam, atau umpatan dan hujatan, terhadap berbagai kesalahan besar atau dosa-dosa berat yang dibikin Suharto beserta para jenderal pendukungnya. Hal yang semacam ini sangat diperlukan, karena banyak persoalan-persoalan parah dan gawat yang terjadi sekarang ini adalah justru bersumber pada kesalahan-kesalahan Orde Baru, yang diwarisi sampai sekarang.

Terus membongkar Orde Baru untuk mengadakan perubahan

Dewasa ini makin jelas bagi kita semua bahwa perubahan fundamental atau perbaikan negara dan bangsa kita tidak bisa dilakukan tanpa membongkar habis-habisan atau melenyapkan sisa-sisa berbagai politik Orde Baru yang masih diteruskan oleh sebagian besar tokoh-tokoh, baik yang militer maupun sipil. Perubahan atau perbaikan negara dan bangsa kita (termasuk perubahan atau perbaikan di kalangan militer) hanya bisa dilakukan dengan bersikap tegas melawan segala politik yang anti rakyat, yang anti ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, yang dijalankan oleh para pendukung Suharto selama puluhan tahun.

Dari sudut ini jugalah kita anggap sangat penting munculnya lebih banyak lagi tokoh-tokoh militer lainnya yang bersedia mengutarakan pendapat yang kritis, yang membongkar segala aspek-aspek yang negatif dari kalangan militer, baik yang terjadi selama Orde Baru maupun sesudahnya sampai sekarang. Ini demi untuk kebaikan kalangan militer sendiri, maupun untuk kepentingan bangsa dan negara kita

AJARAN RANGGAWARSITA

Sakderengipun matur sembah nuwun kagem Kangmas


Pembukaan :

Amenangi jaman edan

ewuh aya ing pambudi

Melu edan nora tahan

yen tan melu anglakoni

boya kaduman melik

Kaliren wekasanipun

Dilalah karsa Allah

Begja-begjane kang lali

luwih begja kang eling lawan waspada”

(pupuh 7, Sent Kalatidha)




Terjemahan :

Mengalami jaman gila

sukar sulit (dalam) akal ikhtiar

Turut gila tidak tahan

kalau tak turut menjalaninya

tidak kebagian milik

kelaparanlah akhirnya

Takdir kehendak Allah

sebahagia-bahagianya yang lupa

lebih berbahagia yang sadar serta waspada”.


- Syair jaman edan, dimana manusia kehilangan dasar sikap dan perilaku yang benar.

- Di dalam Serat Kalatidha, Sabda Pranawa Jati Ki pujangga melihat kesusahan yang terjadi pada jaman itu . . .

Rajanya utama, patihnya pandai dan menteri-menterinya mencita-citakan kesejahteraan rakyat serta semua pegawai-pegawainya cakap. Akan tetapi banyak kesukaran-kesukaran menimpa negeri; orang bingung, resah dan sedih pilu, serta dipenuhi rasa kuatir dan takut. Banyak orang pandai dan berbudi luhur jatuh dari kedudukannya. Banyak pula yang sengaja menempuh jalan salah . . . harga diri turun . . . akhlak merosot. Pada waktu-waktu seperti itu berbahagialah mereka yang sadar/ingat dan waspada.

- Menghadapi jaman seperti itu Ki Ronggowarsito memberikan petuah-petuahnya, yaitu yang dapat disebut sebagai empat pedoman hidup.

I. Tawakal marang Hyang Gusti

- Pedoman yang pertama; yaitu kepercayaan iman dan pengharapan kepada Tuhan.

- Pedoman inilah yang menjadi dasar hidup, perilaku dan karya manusia.

1. “Mupus papasthening takdir, puluh-puluh anglakoni kaelokan”

(pupuh 6, Kalatidha).

Arti :

Menyadari ketentuan takdir, apa boleh buat (harus) mengalami keajaiban. Manusia hidup harus menerima keputusan Tuhan.

2. “Dialah karsa Allah, begja-begjane kang lali, luwih becik eling lawan waspada”

(pupuh 7, Kalatidha)

Arti :

- Memanglah kehendak Allah, sebahagia-babagianya yang lupa, lebih bahagia yang sadar ingat dan waspada.

- Manusia harus selalu menggantungkan diri kepada kehendak (karsa) Allah.

- Karsa atau kehendak Allah itu seperti yang tersirat dalam ajaran agama, kitab suci, hukum-hukum alam, adat istiadat dan ajaran leluhur.

3. Muhung mahasing ngasepi, supaya antuk parimirmaning Hyang suksma.

(pupuh 8, Kalatidha)

Arti:

Sebaiknya hanya menjauhkan diri dari keduniawian, supaya mendapat kasih sayang Tuhan.

- Di kala ingin mendekatkan jiwa pada Tuhan, memang pikiran dan nafsu harus terlepas dari hal keduniawian.

- Supayantuk: Supaya dilimpahi Parimirmaning Hyang suksma; Kasih sayang Tuhan.

4. Saking mangunah prapti, Pangeran paring pitulung.

(pupuh 9, Kalatidha)

Arti :

Pertolongan datang dari Tuhan, Tuhan melimpahkan pertolongan.

- Hanya Dia, Puji sekalian alam, Gembala yang baik, yang dapat menolong manusia dalam kesusahannya.

- Mangunah : Pertolongan Tuhan

Prapti : Datang.

5. Kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka parmaning suksma.

(pupuh 10, Kalatidha)

Arti:

Disertai dasar/awas dan ingat, bertujuan mendapatkan kasih sayang Tuhan.

6. Ya Allah ya Rasululah kang sifat murah lan asih.

(pupuh 11, Kalatidha)

Arti :

Ya Allah ya nabi yang pemurah dan pengasih.

7. Badharing sapudendha, antuk mayar sawatawis, borong angga suwarga mesti martaya.

(pupuh 12, Kalatidha)

Arti

(Untuk) urungnya siksaan (Tuhan), mendapat keringanan sekedarnya, (sang pujangga) berserah diri (memohon) sorga berisi kelanggengan.

- Pengakuan kepercayaan bahwa pada Tuhanlah letak kesalamatan manusia.

Pupuh-pupuh tambahan:

8. Setyakenang naya atoh pati, yeka palayaraning atapa, gunung wesi wasitane tan kedap ing pan dulu ning dumadi dadining bumi, akasa mwang; riya sasania paptanipun, jatining purba wisesa, tan ana lara pati kalawan urip, uripe tansah tungga”.

(pupuh 88, Nitisruti)

Arti:

Bersumpahlah diri dengan niat memakai tuntunan (akan) mempertaruhkan nyawa, yaitulah laku orang bertapa di (atas) gunung besi (peperangan) menurut bunyi petuah. Tak akan salah pandangannya terhadap segala makhluk dan terjadinya bumi dan langit serta segala isinya. Sekaliannya itu sifat Tuhan; tak ada mati, hiduppun tiada, hidupnya sudah satu dengan yang Maha suci.

- Karya sastra Nitisruti ditulis oleh Pangeran di Karangayam (Pajang), pada tahun saka atau 1591 M.

- Mengenai tekad untuk mengenal Tuhan dan rahasiaNya.

- Mengenal kekuasaan di balik ciptaan-Nya, karena sudah bersatu dengan Gusti-Nya.

9. Sinaranan mesu budya, dadya sarananing urip, ambengkas harda rubeda, binudi kalayan titi, sumingkir panggawe dudu, dimene katarbuka, kakenan gaibing widi.

(Dari serat Pranawajati)

Arti:

Syaratnya ialah memusatkan jiwa, itulah jalannya di dalam hidup, menindas angkara yang mengganggu, diusahakan dengan teliti, tersingkirkanlah perbuatan salah, supaya terbukalah mengetahui rahasia Tuhan.

- Serat Pranawajati ditulis oleh Ki R.anggawarsita

- Pupuh ini menjelaskan jalan kebatinan untuk mencapai (rahasia) Tuhan.

10. Pamanggone aneng pangesthi rahayu, angayomi ing tyas wening, heninging ati kang suwung, nanging sejatine isi, isine cipta kang yektos”.

(Dari serat Sabda Jati)

Arti:

Tempatnya ialah di dalam cita-cita sejahtera, meliputi hati yang terang, hati yang suci kosong, tapi sesungguhnya berisi, isinya cipta sejati.

11. Demikianlah orang yang dikasihi Tuhan, yang selalu mencari-Nya untuk memuaskan dahaga batin. Ia akan berbahagia dan merasa tentram sejahtera; sadar akan arti hidup maupun tujuan hidup manusia. Pembawaannya rela, jujur dan sabar; pasrah, sumarah lan nanima, berbudi luhur dan teguh dihati.

II. Eling lawan Waspada

- Pedoman yang kedua; yaitu sikap hidup yang selalu sadar-ingat dan waspada.

- Pedoman inilah yang menjaga manusia hingga tidak terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan malapetaka.

Pupuh-pupuh :


1. Dilalah karsa Allah, begja-begjane kang lali luwih becik kang eling lawan waspada.

(Pupuh 1, Kalatidha)

Arti :

akdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya yang lupa, lebih bahagia yang sadar / ingat dan waspada.

2. Yen kang uning marang sejatining kawruh, kewuhan sajroning ati, yen tan niru nora arus, uripe kaesi-esi, yen niruwa dadi asor.

(Pupuh 8, Sabda Jati)

Arti:

Bagi yang tidak mengetahui ilmu sejati bimbanglah di dalam hatinya, kalau tidak meniru (perbuatan salah) tidak pantas, hidupnya diejek-ejek, kalau meniru (hidupnya} menjadi rendah.

3. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung, anggelar sekalir-kalir, kalamun temen tinemu, kabegjane anekani, kamurahaning Hyang Monon”.

(Pupuh 9, Sabda Jati)

Arti :

Tidak percaya kepada gaib Tuhan, yang membentangkan seluruh alam, kalau benar-benar usahanya, mestilah tercapai cita-citanya, kebabagiaannya datang, itulah kemurahan Tuhan.

- Serat Sabda Jati adalah juga ditulis oleh pujangga Ki Ranggawarsita.

- Pupuh 8 membicarakan keragu-raguan hati karena melihat banyak orang menganggap perbuatan salah sebagai sesuatu yang wajar.

- Akan tetapi bagi yang sadar/ingat dan waspada, tuntunan Tuhan akan datang membawa kebahagiaan batin.

4. Mangka kanthining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning alam, dadi wiryaning dumadi, supadi nir ing Sangsaya, yeku pangreksaning urip.

(Pupuh 83, Wedhatama)

Arti :

Untuk kawan hidup, selamanya hanyalah awas dan ingat ingat akan sasmita alam, menjadi selamatlah hidupnya, supaya bebas dari kesukaran, itulah yang menjaga kesejahteraan hidup.

5. Dene awas tegesipun, weruh warananing urip, miwah wisesaning Tunggal, kang atunggil rina wengi, kang makitun ing sakarsa, gumelar ngalam sekalir.

(Pupuh 86, Wedhatama)

Arti :

Adapun awas artinya, tahu akan tabir di dalam hidup, dan kekuasaan Hyang Maha Tunggal, yang bersatu dengan dirinya siang malam, yang meliputi segala kehendak, disegenap alam seluruhnya.

- Wedhatama ditulis oleh Pangeran Mangkunegara IV.


6. Demikianlah sikap hidup yang berdasarkan “Eling lawan waspada”; yaitu selalu mengingat kehendak Tuhan sehingga tetap waspada dalam berbuat; untuk tidak mendatangkan celaka. Kehendak Tuhan mendapat dicari/ditemukan di dalam hukum alam, wahyu jatmika yang tertulis dalam kitab suci maupun karya sastra, adat-istiadat, nasehat leluhur/orang tua dan cita-cita masyarakat.

7. Eling” juga berarti selalu mengingat perbuatan yang telah dilakukan, baik maupun buruk, agar “waspada” dalam berbuat. Berkat sikap “eling lawan waspada” ini, terasalah ada kepastian dalam langkah-langkah hidup.

III. Rame ing gawe.


- Pedoman hidup yang ketiga, yaitu hidup manusia yang dihiasi daya-upaya dan kerja keras.

- Menggantungkan diri pada wasesa dan karsa Hyang Gusti adalah sama dengan menerima takdir.

Karena siapakah yang dapat meriolak kehendak Nya?

1. Ada tertulis:

Tidak ada sahabat yang melebihi (ilmu) pengetahuan Tidak ada musuh yang berbahaya dan pada nafsu jahat dalam hati sendiri Tidak ada cinta melebihi cinta orang tua kepada anak-anaknya Tidak ada kekuatan yang menyamai nasib, karena kekuatan nasib tidak tertahan oleh siapapun”.

(Ayat 5, Bagian II Kitab Nitiyastra).

2. Tetapi apakah kekuatiran atau ketakutan akan nasib menjadi akhir dan pada usaha atau daya upaya manusia? Berhentikah manusia berupaya apabila kegagalan menghampiri kerjanya?

3. …. Karana riwayat muni, ikhtiar iku yekti, pamilihe reh rahayu, sinambi budi daya, kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka parmaning suksma.

(Pupuh 10, Kalatidha)

Arti :

…. Karena cerita orang tua mengatakan, ikhtiar itu sungguh-sungguh, pemilih jalan keselamatan, sambil berdaya upaya disertai awas dan ingat, yang dimaksudkan mendapat kasih sayang Tuhan.

- Menerima takdir sebagai keputusan terakhir, tidak berarti mengesampingkan ikhtiar sebagai permulaan daripada usaha.

4. Kuneng lingnya Ramadayapati, angandika Sri Rama Wijaya, heh bebakal sira kiye, gampang kalawan ewuh, apan aria ingkang akardi, yen waniya ing gampang, wediya ing kewuh, sabarang nora tumeka, yen antepen gampang ewuh dadi siji, ing purwa nora ana.

(Tembang Dandanggula, Serat Rama)

Arti :

Haria sehabis haturnya Ramadayapati (Hanoman), bersabdalah Sri Rama : Hai, kau itu dalam permulaan melakukan kewajiban, ada gampang dan ada sukar, itu adalah (Tuhan) yang membuat. Kalau berani akan gampang; takut akan yang sukar, segala sesuatu tidak akan tercapai. Bila kau perteguh hatimu, gampang dan sukar menjadi satu, (itu) tidak ada, tidak dikenal dalam permulaan (usaha).

5. Demikianlah, takdir yang akan datang kelak tidak seharusnya menghentikan usaha manusia. Niat yang tidak baik adalah niat “mencari yang mudah, menghindari yang sukar”. Semua kesukaran atau tugas harus dihadapi dengan keteguhan hati. “Rame ing gawe” dan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung” adalah semangat usaha yang lahir dari keteguhan hati itu.

Catatan:

Pupuh ke empat adalah cuplikan dari serat Rama, yang ditulis oleh Ki Yosadipura.

(1729 – 1801 M)

IV. Mawasdiri:

- Pedoman hidup yang keempat, yaitu perihal mempelajari pribadi dan jiwa sendiri; yang merupakan tugas semua mamusia hidup.

Pupuh-pupuh:

1. Wis tua arep apa, muhung mahasing ngasepi, supayantuk parimirmaning Hyang Suksma.

(Pupuh 8, Kalatidha)

Arti :

Sudah tim mau apa, sebaiknya hanya menjauhkan diri dari keduniawian, supaya mendapat/kasih sayang Tuhan.

- Nasehat agar tingkat orang yang telah berumur menunjukkan martabat.

2. Jinejer neng wedhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi, sanadyan ta tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi asepi lir sepah samun, samangsaning pakumpulan, gonyak-ganyuk ngliling semi.

(Pupuh 2, Pangkur, Wedhatama)

Arti:

Ajarannya termuat dalam Wedhatama, agar supaya tak kendor hasrat usahanya memberi nasehat, (sebab) meskipun sudah tua bangka, kalau tak ketahuan kebatinan, tentulah sepi hambar bagaikan tak berjiwa, pada waktu di dalam pergaulan, kurang adat memalukan.

3. …. Pangeran Mangkubumi ing pambekanipun. Kang tinulad lan tinuri-luri, lahir prapteng batos, kadi nguni ing lelampahane, eyang tuwan kan jeng senopati, karem mawas diri, mrih sampurneng kawruh.Kawruh marang wekasing dumadi, dadining lalakon, datan samar purwa wasanane, saking dahat waskitaning galih, yeku ing ngaurip, ran manungsa punjul.

(Dari babad Giyanti)

Arti :

….Pangeran Mangkubumi budi pekertinya. Yang ditiru dan dijunjung tinggi, lahir sampai batin, seperti dahulu sejarahnya, nenek tuan kanjeng senopati gemar mawas diri untuk kesempumaan ilmunya. Ilmu tentang kesudahan hidup, jadinya lelakon, tidak ragu akan asal dan kesudahannya (hidup), karena amat waspada di dalam hatinya, itulah hidup, disebut manusia lebih (dari sesamanya).

- Babad Giyanti ditulis oleh pujangga Yasadipura I. Isinya memberi contoh tentang seseorang yang selalu mawas diri, yaitu Panembahan Senopati.

4. Mawas diri adalah usaha meneropong diri sendiri dan dengan penuh keberanian mengubah pribadinya. Maka inilah asal dan akhir dari pada keteguhan lahir dan batin.

5. Laku lahir lawan batin, yen sampun gumolong, janma guna utama arane, dene sampun amengku mengkoni, kang cinipta dadi, kang sinedya rawuh”.

(Dari babad Giyanti)

Arti :

Amalan lahir dan batin, bilamana sudah bersatu dalam dirinya, yang demikian itu disebut manusia pandai dan utama, karena ia sudah menguasai dan meliputi, maka yang dimaksudkan tercapai, yang dicita-citakan terkabul.

6. Nadyan silih prang ngideri bumi, mungsuhira ewon, lamun angger mantep ing idhepe, pasrah kumandel marang Hyang Widi, gaman samya ngisis, dadya teguh timbul).”

(Tembung Mijil, Dari babad Giyanti)

Arti :

Meski sekalipun perang mengitari jagad, musuhnya ribuan, tetapi asal anda tetap di dalam hati, berserah diri percaya kepada Tuhan, semua senjata tersingkirkan, menjadi teguh kebal.

7. Demikianlah ajaran Ki Ranggawarsita, yaitu mengenai empat pedoman hidup. Begitulah orang yang menggantungkan dirinya kepada kekuasaan Tuhan dan menerima tuntunan-Nya. Ia akan memiliki kepercayaan pada diri sendiri, tetapi tanpa disertai kesombongan maupun keangkaraan.

Cita-cita kemasyarakatan.

1. Ki pujangga Ranggawarsito mencita-citakan pula datangnya jaman Kalasuba, yaitu jaman pemerintahan Ratu Adil Herucakra. Karena itu beliau merupakan seorang penyambung lidah rakyatnya, yang menciptakan masyarakat “panjang punjung tata karta raharja” …. “gemah ripah loh jinawi” ….loh subur kang sarwa tinandur” dimana “wong cilik bakal gumuyu.

2. Tiga hal yang pantas diperjuangkan, untuk menegakkan pemerintahan Ratu Adil; yaitu: Bila semua meninggalkan perbuatan buruk, bila ada persatuan dan bila hadir pemimpin-pemimpin negara yang tidak tercela lahir batinnya.

3. Dengarlah!

4. Ninggal marang pakarti tan yukti, teteg tata ngastuti parentah, tansah saregep ing gawe, ngandhap lan luhur jumbuh, oaya ana cengil-cengil, tut runtut golong karsa, sakehing tumuwuh, wantune wus katarbuka, tyase wong sapraya kabeh mung haryanti, titi mring reh utama.

(Dari Serat Sabdapranawa)

Arti :

Meninggalkan perbuatan buruk, tetap teratur tunduk perintah, selalu rajin bekerja, bawahan dan atasan cocok-sesuai tak ada persengketaan, seia sekata bersatu kemauan, dari segala makhluk, sebab telah terbukalah, tujuan orang seluruh negara hanyalah kesejahteraan, faham akan arti ulah keutamaan.

5. Ngarataning mring saidenging bumi, kehing para manggalaningpraya, nora kewuhan nundukake, pakarti agal lembut, pulih kadi duk jaman nguni, tyase wong sanagara, teteg teguh, tanggon sabarang sinedya, datan pisan nguciwa ing lahir batin, kang kesthi mung reh tama.

(Tembang Dandanggula, Serat Sabdapranawa)

Arti:

Merata keseluruh dunia; sebanyak-banyak pemimpin negara tak kesukaran menjalankan perbuatan kasar-halus; kembalilah seperti dahulu kala, tujuan orang seluruh negara, tetap berani sungguh, boleh dipercaya segala maksudnya, tak sekali-kali tercela lahir batinnya, yang dituju hanyalah selamat sejahtera.

6. Demikianlah yang dicita-citakan pujangga agung Ranggawarsita.



FILOSOFI SEMAR

Saking Kangmas

FILOSOFI SEMAR

Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya

Bebadra = Membangun sarana dari dasar

Naya = Nayaka = Utusan mangrasul

Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia



Filosofi, Biologis Semar


Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : “Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik”.

Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.

Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat”.

Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi.

Ciri sosok semar adalah :

Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua

Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan

Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa

Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok

Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya


Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.

Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.

Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .

Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi :

Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.

Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma“, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.

Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati Diri

Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah punakawan ” Abdi ” Pamomong ” yang paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya.

Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah ” menjelma ” ( menjadi manusia ) yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan.

Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 ) Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 )

Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 – Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah.

Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti ” pimpinan rahmani ” yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling ” rasa ingat ” ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 )

Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang disuguhkan lakon ” Semar Mbabar Jati Diri “. gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4 ( Cermomanggolo 1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar lakon tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono ( Cermomanggolo 1995 : 5 – Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon ” Semar Mbabar Jadi Diri ” diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh sangkan paraning dumadi ” ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito ( dalam Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah apabila pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka


SEJARAH KEN AROK




-Asal usul


Menurut naskah Pararaton, Ken Arok adalah putra Dewa Brahma hasil berselingkuh dengan seorang wanita desa Pangkur bernama Ken Ndok. Oleh ibunya, bayi Ken Arok dibuang di sebuah pemakaman, hingga kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong.

Ken Arok tumbuh menjadi pemuda yang gemar berjudi, sehingga membebani Lembong dengan banyak hutang. Lembong pun mengusirnya. Ia kemudian diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi pula yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan.

Ken Arok tidak betah hidup menjadi anak angkat Genukbuntu, istri tua Bango Samparan. Ia kemudian bersahabat dengan Tita, anak kepala desa Siganggeng. Keduanya pun menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri.

Akhirnya, Ken Arok bertemu seorang brahmana dari India bernama Lohgawe, yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Dari ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang dicarinya.

-Merebut Tumapel

Tumapel merupakan salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjadi akuwu (setara camat zaman sekarang) Tumapel saat itu bernama Tunggul Ametung. Atas bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung.

Ken Arok kemudian tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung yang cantik. Apalagi Lohgawe juga meramalkan kalau Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu semakin membuat Ken Arok berhasrat untuk merebut Ken Dedes, meskipun tidak direstui Lohgawe.

Ken Arok membutuhkan sebilah keris ampuh untuk membunuh Tunggul Ametung yang terkenal sakti. Bango Samparan pun memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring dari desa Lulumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan), yaitu seorang ahli pembuat pusaka ampuh.

Mpu Gandring sanggup membuatkan sebilah keris ampuh dalam waktu setahun. Ken Arok tidak sabar. Lima bulan kemudian ia datang mengambil pesanan. Keris yang belum sempurna itu direbut dan ditusukkan ke dada Mpu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Mpu Gandring mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh 7 orang, termasuk Ken Arok sendiri.

Kembali ke Tumapel, Ken Arok menjalankan rencana liciknya. Mula-mula ia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal. Kebo Hijo dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik Kebo Hijo. Dengan demikian, siasat Ken Arok berhasil.

Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya. Namun hatinya luluh oleh rayuan Ken Arok. Lagi pula, Ken Dedes menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.

Pagi harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung. Ken Arok lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai akuwu baru di Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Tidak seorang pun yang berani menentang kepustusan itu. Ken Dedes sendiri saat itu sedang mengandung anak Tunggul Ametung.

-Mendirikan Kerajaan Tumapel


Pada tahun 1222 terjadi perselisihan antara Kertajaya raja Kadiri dengan para brahmana. Para brahmana itu memilih pindah ke Tumapel meminta perlindungan Ken Arok yang kebetulan sedang mempersiapkan pemberontakan terhadap Kadiri. Setelah mendapat dukungan mereka, Ken Arok pun menyatakan Tumapel sebagai kerajaan merdeka yang lepas dari Kadiri. Sebagai raja pertama ia bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi

Kertajaya (dalam Pararaton disebut Dhandhang Gendis) tidak takut menghadapi pemberontakan Tumapel. Ia mengaku hanya dapat dikalahkan oleh Bhatara Siwa. Mendengar sesumbar itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Siwa dan siap memerangi Kertajaya.

Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi di dekat desa Ganter. Pihak Kadiri kalah. Kertajaya diberitakan naik ke alam dewa, yang mungkin merupakan bahasa kiasan untuk mati.

-Keturunan Ken Arok


Ken Dedes telah melahirkan empat orang anak Ken Arok, yaitu Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki selir bernama Ken Umang, yang telah memberinya empat orang anak pula, yaitu Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wergola dan Dewi Rambi.

Selain itu, Ken Dedes juga memiliki putra dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati.
-Kematian Ken Arok

Anusapati merasa heran pada sikap Ken Arok yang seolah menganaktirikan dirinya, padahal ia merasa sebagai putra tertua. Setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya Anusapati mengetahui kalau dirinya memang benar-benar anak tiri. Bahkan, ia juga mengetahui kalau ayah kandungnya bernama Tunggul Ametung telah mati dibunuh Ken Arok.

Anusapati berhasil mendapatkan keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes. Ia kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok. Ken Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan sore hari. Anusapati ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak.

Peristiwa kematian Ken Arok dalam naskah Pararaton terjadi pada tahun 1247.

-Versi Nagarakretagama

Nama Ken Arok ternyata tidak terdapat dalam Nagarakretagama (1365). Naskah tersebut hanya memberitakan bahwa pendiri Kerajaan Tumapel merupakan putra Bhatara Girinatha yang lahir tanpa ibu pada tahun 1182.

Pada tahun 1222 Sang Girinathaputra mengalahkan Kertajaya raja Kadiri. Ia kemudian menjadi raja pertama di Tumapel bergelar Sri Ranggah Rajasa. Ibu kota kerajaannya disebut Kutaraja (pada tahun 1254 diganti menjadi Singasari oleh Wisnuwardhana).

Sri Ranggah Rajasa meninggal dunia pada tahun 1227 (selisih 20 tahun dibandingkan berita dalam Pararaton). Untuk memuliakan arwahnya didirikan candi di Kagenengan, di mana ia dipuja sebagai Siwa, dan di Usana, di mana ia dipuja sebagai Buddha.

Kematian Sang Rajasa dalam Nagarakretagama terkesan wajar tanpa pembunuhan. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah tersebut merupakan sastra pujian untuk keluarga besar Hayam Wuruk, sehingga peristiwa pembunuhan terhadap leluhur raja-raja Majapahit dianggap aib.

Adanya peristiwa pembunuhan terhadap Sang Rajasa dalam Pararaton diperkuat oleh prasasti Mula Malurung (1255). Disebutkan dalam prasasti itu, nama pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang meninggal di atas takhta kencana. Berita dalam prasasti ini menunjukkan kalau kematian Sang Rajasa memang tidak sewajarnya.

-Keistimewaaan Ken Arok

Nama Rajasa selain dijumpai dalam kedua naskah sastra di atas, juga dijumpai dalam prasasti Balawi yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit tahun 1305. Dalam prasasti itu Raden Wijaya mengaku sebagai anggota Wangsa Rajasa.Raden Wijaya adalah keturunan Ken Arok.

Nama Ken Arok memang hanya dijumpai dalam Pararaton, sehingga diduga kuat merupakan ciptaan si pengarang sebagai nama asli Rajasa. Arok diduga berasal dari kata rok yang artinya "berkelahi". Tokoh Ken Arok memang dikisahkan nakal dan gemar berkelahi.

Pengarang Pararaton sengaja menciptakan tokoh Ken Arok sebagai masa muda Sang Rajasa dengan penuh keistimewaan. Kasus yang sama terjadi pula pada Babad Tanah Jawi di mana leluhur raja-raja Kesultanan Mataram dikisahkan sebagai manusia-manusia pilihan yang penuh dengan keistimewaan. Ken Arok sendiri diberitakan sebagai putra Brahma, titisan Wisnu, serta penjelmaan Siwa, sehingga seolah-olah kekuatan Trimurti berkumpul dalam dirinya.

Terlepas dari benar atau tidaknya kisah Ken Arok, dapat ditarik kesimpulan kalau pendiri Kerajaan Tumapel hanya seorang rakyat jelata, namun memiliki keberanian dan kecerdasan di atas rata-rata sehingga dapat mengantarkan dirinya sebagai pembangun suatu dinasti baru yang menggantikan dominasi keturunan Airlangga dalam memerintah pulau Jawa.

SUMBER BERITA >>>

Maling bobol SMAN 1

Wonogiri
Aksi pencurian di bangunan kosong, akhir-akhir ini, marak. Kali ini, pencurian terjadi di SMAN 1 Wonogiri dan tiga warga Sumbersari, Purwosari, Wonogiri. Total kerugian mencapai jutaan rupiah.

Informasi yang dihimpun Espos, Senin (16/11), menyebutkan aksi pencurian menimpa SMAN 1 Wonogiri. Aksi itu diketahui oleh penjaga sekolah bernama Satino sekitar pukul 05.00 WIB. “Waktu itu kami curiga, pintu ruang TU agak terbuka. Setelah kami lihat ternyata pintu sudah rusak dan barang-barang di dalam ruangan juga sudah acak-acakan,” ujar Satino.
Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala SMAN 1 Mulyadi. Didampingi Wakasek Bagian Humas, Sentot, Mulyadi menuturkan pencuri membawa uang tunai senilai Rp 5,99 juta, 4 CPU dan 1 monitor LCD. Ruangan yang diobrak-abrik pencuri di antaranya ruang kepala sekolah, ruang administrasi dan ruang laboratorium kimia serta ruang guru. “Uang itu berada di brankas, merupakan uang iuran Korpri guru-guru SMAN 1 Wonogiri dan iuran komite,” ujar Mulyadi.
Menurut Mulyadi, pencuri masuk dengan cara merusak jendela dan pintu. Ditambahkan oleh Sentot, pelaku diduga keluar dari lingkungan sekolah melewati arah timur karena terdapat bekas brankas.
Kasus lainnya adalah pencurian di Dusun Sumbersari, Purwosari, terjadi di tiga rumah warga, yakni milik Katno, Mardi dan Irfan. Menurut Kepala Desa Purwosari, Kadris, pencurian tersebut berlangsung akhir bulan lalu namun sampai sekarang belum terungkap.
Dijelaskan oleh Kadris, pencurian tersebut berlangsung beberapa pekan lalu. Kadris menyatakan modus pelaku sama, yakni mencongkel jendela. Di rumah Katno, pencuri membawa uang tunai Rp 450.000 dan jaket, di rumah Mardi, pencuri menggondol uang Rp 300.000 dan pakaian. Sementara di rumah Irfan, pencuri membawa sepeda motor Honda Beat.
Kapolres Wonogiri AKBP Nanang Avianto dan Kapolsek Wonogiri AKP Hadijah Sahab mengatakan polisi masih melakukan penyelidikan. “Patroli akan kami galakkan dan secepatnya kami lakukan analisis dan evaluasi.

Warga Sendangijo tewas misterius Jenazah ditemukan di laut

Selogiri
Masyarakat Desa Sendangijo, Selogiri masih belum mengetahui secara pasti tewasnya Edi Kuswanto, 28, warga Dusun Kedungbanteng RT 3/RW IV, Sendangijo, Selogiri. Dia ditemukan tewas dengan kondisi tubuh rusak, di laut, beberapa waktu lalu.

Bujangan itu dalam perjalanan merantau ke Makassar, akhir Oktober lalu untuk mengikuti kakaknya.
Informasi yang dihimpun Espos dari warga Sendangijo, jenazah Edi tiba di Sendangijo, Selasa (17/11) sekitar pukul 10.30 WIB. Jenazah kemudian disalatkan di masjid desa dan langsung dikubur di permakaman umum Gunung Engkuk, Sendangijo, Selogiri.
Beberapa warga dan perangkat Desa Sendangijo saat ditemui Espos mengaku tidak tahu persis penyebab tewasnya Edi, anak bungsu pasangan Surip Mitro Saroyo-Ny Sumiyati itu.
Mereka mengaku hanya mengetahui cerita bahwa korban ditemukan nelayan di perairan laut perbatasan antara Tuban dan Gresik, Jawa Timur.
Kadus Kedungbanteng, Sugiarto, menceritakan Edi ditemukan oleh nelayan dalam kondisi rusak. “Edi keluar dari desa sini (Sendangijo) sekitar 26 Oktober, hendak merantau dan ikut kakaknya bernama Hari Purnomo di Makassar. Namun Minggu (15/11) kemarin, ada kabar korban akan dimakamkan di desa. Tadi kemarin-red) dimakamkan.”
Dia menceritakan kematian korban diketahui 12 November lalu. Kabar penemuan mayat di perairan laut lepas itu terdengar sampai ke Sendangijo, Selogiri karena mendapat telepon dari polisi Tuban.
”Setelah dapat informasi, keluarga korban datang ke Tuban untuk mencocokkan, ternyata ciri-cirinya sama. Yakni dari pakaian yang dikenakan, serta ciri khusus di kaki. Saat ditemukan katanya (jenazah-red) sudah dalam kondisi rusak, sehingga kami tidak tahu sebabnya.”

Korban pencabulan divisum ke RSUD

Wonogiri
Empat tersangka perbuatan pencabulan terhadap siswi SMP drop out-an di Karangtengah ditahan di Mapolres Wonogiri. Untuk mendukung bukti-bukti perbuatan pencabulan, polisi memintakan visum korban ke RSUD dr Soediran MS.

Penegasan itu disampaikan Kapolres Wonogiri AKBP Nanang Avianto melalui Kasatreskrim AKP Sugiyo saat ditemui Espos di Mapolres Wonogiri, Senin (23/11). “Empat tersangka masih ditahan dan dijerat Pasal 81 dan 82 UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 12 tahun,” katanya.
Kasatreskrim membantah adanya perkosaan. “Yang ada pencabulan karena pemeriksaan keempat tersangka saat kejadian melakukan raba-raba pada diri korban.”
Dijelaskannya, barang bukti yang disita polisi di antaranya, mobil bernopol AD 8573 QG jenis sedan yang dijadikan tempat pencabulan, pakaian korban dan HP. Kasatreskrim juga membantah informasi bahwa salah satu tersangka, merupakan tersangka pencurian dengan pemberatan (Curat) di Purwantoro yang mengakibatkan korban kehilangan uang senilai Rp 47 jutaan.
“Tidak ada sangkut paut dengan Curat, keterangan tersangka masih labil dan setelah didalami belum mengarah ke tersangka Curat yang menimpa kakak tersangka sendiri.”
Diberitakan sebelumnya, kasus pencabulan menimpa gadis belia dengan nama samaran Kantil, 14, warga Karangtengah, Wonogiri. Korban diduga dicabuli oleh empat warga Hargosari, Tirtomoyo yang masih tetangga kecamatan di Kabupaten Wonogiri.
Peristiwa itu diduga dilakukan di beberapa tempat. Namun terakhir dilakukan di sebuah bengkel yang terletak di Desa Temboro, Karangtengah, Wonogiri. Sebelum dicabuli empat pelaku di dalam mobil, korban diberi minuman yang diduga minuman keras (Miras).
Kapolres menyatakan dari pemeriksaan sementara diketahui, korban sebelum dicabuli diberi Miras. Empat tersangka kesemuanya warga Sobo, Hargosari, Tirtomoyo, yakni Gunawan, 42; Purwanto alias Gabluk, 26; Tri Purwanto alias Sentun, pemilik mobil jenis sedan, 30, dan Novan Madin, 26.
Kapolres menceritakan pencabulan terhadap korban dilakukan Kamis (19/11). Korban dijemput dan diantar pulang pada malam hari. “Korban tidak dijemput di rumah, tapi ditunggui di tempat tak jauh dari rumah korban.”
Warga Karangtengah, Agus, berharap penahanan keempat tersangka bisa membuat jera pelaku maupun orang yang berniat berbuat serupa.
“Di Karangtengah, kejadian pencabulan mungkin sangat banyak karena biasanya remaja rekreasi di lokasi Selo Belah. Dengan berita dan penahanan pelaku, akan menjadi pelajaran bagi masyarakat lain,” ujar Agus.

Kenaikan gaji belum dimasukkan RAPBD Wonogiri terancam defisit Rp 26 miliar

Wonogiri
Rancangan APBD 2010 Wonogiri terancam mengalami defisit murni lebih dari Rp 26 miliar menyusul adanya kemungkinan belum dimasukkannya kenaikan gaji PNS sebesar 5% pada 2010 dalam KUA PPAS.

Bupati Wonogiri, H Begug Poernomosidi, dalam nota pengantar atas kebijakan umum anggaran (KUA) dan prioritas plafon anggaran sementara (PPAS) APBD 2010 yang dibacakan Wakil Bupati, Y Sumarmo, dalam rapat paripurna di Gedung Dewan, Senin (23/11), mengungkapkan dalam perkembangan realitas tahun 2010, terdapat pergeseran yang dapat diindikasikan penurunan kemampuan keuangan daerah. Karenanya, pagu indikatif KUA PPAS diarahkan pada hal-hal yang sifatnya superprioritas. Pertama untuk belanja pegawai, kedua untuk beban pendampingan (sharing) dana alokasi khusus dan bantuan provinsi. Ketiga, belanja program setiap SKPD dan keempat, belanja langsung dan belanja tidak langsung non-gaji.
“Dengan memperhitungkan pendapatan, belanja, dan pembiayaan, KUA PPAS APBD 2010 Kabupaten Wonogiri mengalami surplus sebesar Rp 2.628.540.300,” ungkap Soemarmo, mengutip nota pengantar tersebut.

Proyek berkurang
Menanggapi hal tersebut, salah satu anggota Badan Anggaran DPRD Wonogiri, Ngadiyono, mengatakan ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama, perihal penurunan belanja langsung dari semula Rp 290 miliar menjadi hanya Rp 158 miliar atau turun 45%. Hal ini mengisyaratkan anggaran-anggaran yang bisa dinikmati secara langsung oleh masyarakat menjadi sangat berkurang.
Kedua adalah mengenai belanja tidak langsung, ternyata hanya naik Rp 2 miliar. Ini berarti antisipasi kenaikan gaji pegawai sebesar 5% pada 2010 mendatang belum dimasukkan.
“Kenaikan gaji 5% itu kalau dihitung nilainya mencapai Rp 29 miliar. Dengan perhitungan surplus sekitar Rp 2,6 miliar, maka RAPBD 2010 akan mengalami defisit murni sebesar Rp 26 miliar lebih. Inilah yang harus dikritisi kembali dan dicari pemecahannya,” jelas Ngadiyono kepada Espos, kemarin.
Sekretaris Daerah Wonogiri, Suprapto, saat dimintai tanggapannya mengenai hal itu mengaku belum tahu apakah antisipasi kenaikan gaji pegawai pada 2010 mendatang sudah dimasukkan dalam penghitungan KUA PPAS atau belum. “Ya mudah-mudahan saja sudah. Kalau belum, ya berarti harus segera dicari pemecahannya.”

GAJAH MADA


Asal-usul Gajah Mada masih menjadi misteri bagi semua orang. Bahkan para ahli sejarah pun belum ada yang bisa menelusuri riwayat hidup tokoh ini. Negarakertagama yang banyak berisi tentang cerita seputar Majapahit pun mulai memasukkan tokoh ini ketika terjadi pemberontakan Kuti. Padahal Mpu Prapanca, penulis Negarakertagama hidup sejaman dengan Gajah Mada.

Tulisan ini berangkat dari rasa penasaran saya terhadap asal-usul Gajah Mada yang masih gelap. Yang akhirnya menggerakkan hati saya untuk mencoba mengadakan riset kecil-kecilan dengan menggunakan fasilitas mesin pencari. Meskipun tidak ada satupun yang secara jelas menunjukkan asal-usul Gajah Mada. Dan di bawah ini merupakan rangkuman dari beberapa tulisan-tulisan lepas yang pernah saya baca serta diskusi-diskusi yang saya ikuti dalam milis, hingga akhirnya saya berani mengambil kesimpulan kalau Gajah Mada bukan orang Jawa. Berikut ini alasan-alasan yang mendasari saya berkesimpulan seperti itu.

Gajah bukan hewan khas Jawa

Seperti kita kita ketahui bersama, jaman dahulu nama orang identik atau disimbolkan dengan nama-nama hewan . Raja Majapahit yang terkenal, H(ayam) Wuruk sendiri mempunyai arti ayam jantan. Beberapa nama hewan yang biasa dipakai antara lain : Mahesa(Sapi), Lembu, Kebo, Banyak (Angsa) dll.

Menurut Nagarakretagama, Mahesa Cempaka memiliki anak Dyah Lembu Tal yang diberi gelar Dyah Singhamurti dan kemudian menurunkan Raden Wijaya.

Ronggolawe, adalah putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja bupati Sumenep yang membantu Raden Wijaya saat dikejar-kejar tentara JayaKatwang.

Mahesa Anabrang, atau juga disebut dengan nama Kebo Anabrang dan Lembu Anabrang, adalah seorang mantan senapati Singasari (Ketua Ekspedisi Pamalayu) yang membunuh Ranggalawe, pada saat Ranggalawe memberontak pada Majapahit.

Dara Petak (harafiah berarti “Merpati Putih”) adalah istri kelima dari Raden Wijaya, merupakan putri dari Raja Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa dari Kerajaan Dharmasraya. Dari perkimpoiannya dengan Raden Wijaya, Dara Petak melahirkan seorang putra yaitu Kalagemet atau Sri Jayanegara yang menjadi penerus tahta ayahnya di Majapahit.

Diantara nama-nama yang menghiasi perjalanan sejarah Majapahit, bahkan kerajaaan sebelumnya ataupun sesudahnya nama-nama seperti itulah yang populer dipakai oleh golongan bangsawan maupun rakyat biasa. Karena hewan-hewan itu ada di lingkungan mereka. Kecuali untuk nama hewan gajah, kita hanya mendapati satu nama, yaitu Gajah Mada. Berangkat dari sinilah saya berani mengatakan kalau Gajah Mada bukan orang Jawa.

Gajah Mada berasal dari Sumatra?

Satu-satunya pulau di Indonesia yang ada gajahnya adalah Sumatra. Yang pusat koservasinya ada di Way Kambas, Jambi. Dan kalau dilihat dari catatan sejarah, ada benang merah yang dapat ditarik.

Seperti tulisan saya diatas, Dara Petak berasal dari Kerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini lokasinya ada di Sumatra, seperti kutipan dibawah yang saya ambil dari Wikipedia.

Kerajaan Dharmasraya atau Kerajaan Melayu Jambi adalah kerajaan yang terletak di Sumatra, berdiri sekitar abad ke-11 Masehi. Lokasinya terletak di selatan Sawahlunto, Sumatera Barat sekarang, dan di utara Jambi.

Hubungan antara Mahesa (Kebo) Anabrang,Dara Petak, Dara Jingga,Adityawarman dan Jayanegara.

Diduga kuat Mahesa Anabrang ini adalah orang yang sama dengan tokoh yang dikenal sebagai Adwaya Brahman atau Adwayawarman, ayah dari Adityawarman yang disebutkan dalam Prasasti Kuburajo I di Kuburajo, Limo Kaum, dekat Batusangkar, Sumatera Barat. Menurut pembacaan Prof. H. Kern yang diterbitkan tahun 1917, tertulis bahwa batu prasasti itu “dikeluarkan oleh Adityawarman, yang merupakan putra dari Adwayawarman dari keluarga Indra. Dinyatakan juga bahwa Adityawarman menjadi raja di Kanakamedini (Swarnadwipa)“.

Dara Jingga adalah putri dari Tribuanaraja Mauliawarmadewa, raja Kerajaan Dharmasraya dan juga merupakan kakak kandung dari Dara Petak. Dara Jingga memiliki sebutan sira alaki dewa — dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa — dinikahi oleh Adwaya Brahman, pemimpin Ekspedisi Pamalayu.

Nama tokoh ini juga ditemukan pada prasasti yang tertulis di alas arca Amoghapasa, yang ditemukan di Padang Roco, dekat Sei Langsat, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Menurut pembacaan R. Pitono, tertulis bahwa arca itu adalah hadiah perkimpoian Kertanagara kepada seorang bangsawan Sumatera, dan “bersama dengan keempat belas pengiringnya dan saptaratna, dibawa dari Bhumi Jawa ke Swarnnabhumi” dan bahwa “Rakyan Mahamantri Dyah Adwayabrahma” adalah salah seorang pengawal arca tersebut.

Setelah berhasil melaksanakan tugasnya, Mahesa Anabrang membawa Dara Jingga beserta keluarganya dan Dara Petak kembali ke Pulau Jawa untuk menemui Kertanegara, raja yang mengutusnya. Setelah sampai di Jawa, ia mendapatkan bahwa Sang Kertanegara telah tewas dan Kerajaan Singasari telah musnah oleh Jayakatwang, raja Kadiri.

Oleh karena itu, Dara Petak, adik Dara Jingga kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya, yang kemudian memberikan keturunan Raden Kalagemet atau Sri Jayanegara, raja Majapahit ke-2. Dengan kata lain, raja Majapahit ke-2 adalah keponakan Mahesa Anabrang dan sepupu Adityawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyung.

Berdasarkan catatan-catatan diatas, saya berkesimpulan, saat Mahesa Anabrang membawa Dara Jingga dan Dara Petak dari Sumatra ke Jawa, Gajah Mada termasuk dalam rombongan tersebut yang bertugas untuk mengawal keselamatan putri raja mereka sekaligus sebagai duta dari Kerajaan Darmasraya. Atau malah Gajah Mada ditugaskan secara khusus untuk menjadi pengawal pribadi Dara Petak. Yang akhirnya tinggal dan menetap di Majapahit mengikuti tuannya yang menjadi permaisuri raja Majapahit

’Pustaka Hasta Dasa Parateming Prabu’

NENEK moyang bangsa di Nusantara ini mempunyai beberapa pegangan untuk dipergunakan di dalam memimpin masyarakatnya. Kebanyakan sudah terkristalisasi dalam berbagai bentuk tembang dan juga nasihat luhur. Di antara yang paling menonjol adalah pegangan yang dipergunakan oleh Mahapatih Gajahmada ketika memimpin Majapahit.

“Pustaka Hasta Dasa Parateming Prabu” atau 18 ilmu kepemimpinan. Pitutur luhur ini pernah diterapkan Maha Patih Gajah Mada pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit di bumi Nusantara ini. Ke 18 prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut permulaannya disebut

‘Wijaya’. Artinya pemimpin harus mempunyai jiwa tenang, sabar dan bijaksana serta tidak lekas panik dalam menghadapi berbagai macam persoalan. Hanya dengan jiwa yang tenang masalah akan dapat dipecahkan.

Kedua ‘Mantriwira’; Artinya pemimpin harus berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh tekanan dari pihak manapun.

Ketiga ‘Natangguan’; Artinya pemimpin harus mendapat kepercayaan dari masyarakat dan berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan tersebut sebagai tanggung jawab dan kehormatan.

Keempat ‘Satya Bhakti Prabhu’; Pemimpin harus memiliki loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi dan bertindak dengan penuh kesetiaan demi nusa dan bangsa.

Kelima ‘Wagmiwak’; Pemimpin harus mempunyai kemampuan mengutarakan pendapatnya, pandai berbicara dengan tutur kata yang tertib dan sopan serta mampu menggugah semangat masyarakatnya.

Keenam ‘Wicaksaneng Naya’; Artinya pemimpin harus pandai berdiplomasi dan pandai mengatur strategi dan siasat.

Ketujuh ‘Sarjawa Upasama’; Artinya seorang pemimpin harus rendah hati, tidak boleh sombong, congkak, mentang-mentang jadi pemimpin dan tidak sok berkuasa.

Kedelapan ‘Dhirotsaha’ ; Artinya pemimpin harus rajin dan tekun bekerja, memusatkan rasa, cipta, karsa dan karyanya untuk mengabdi kepada kepentingan umum.

Kesembilan ‘Tan Satrsna’ ; Maksudnya seorang pemimpin tidak boleh pilih kasih terhadap salah satu golongan, tetapi harus mampu mengatasi segala paham golongan, sehingga dengan demikian akan mampu mempersatukan seluruh potensi masyarakatnya untuk menyukseskan cita-cita bersama.

Kesepuluh ‘Masihi Samasta Bhuwana’; Maksudnya seorang pemimpin mencintai alam semesta dengan melestarikan lingkungan hidup sebagai karunia Tuhan dan mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat.

Kesebelas ‘Sih Samasta Bhuwana’; Maksudnya seorang pemimpin dicintai oleh segenap lapisan masyarakat dan sebaliknya pemimpin mencintai rakyatnya.

Keduabelas ‘Negara Gineng Pratijna’; Maksudnya seorang pemimpin senantiasa mengutamakan kepentingan negara dari pada kepentingan pribadi ataupun golongan, maupun keluarganya.

Ketigabelas ‘Dibyacitta’ ; Maksudnya seorang pemimpin harus lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain atau bawahannya (akomodatif dan aspiratif).

Keempatbelas ‘Sumantri’ ; Maksudnya seorang pemimpin harus tegas, jujur, bersih dan berwibawa.

Kelimabelas ‘Nayaken Musuh’ ; Maksudnya dapat menguasai musuh-musuh, baik yang datang dari dalam maupun dari luar, termasuk juga yang ada di dalam dirinya sendiri.

Keenambelas ‘Ambek Parama Artha’; Maksudnya pemimpin harus pandai menentukan prioritas atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan kepentingan umum.

Ketujubelas ‘Waspada Purwa Artha’; pemimpin selalu waspada dan mau melakukan mawas diri (introspeksi) untuk melakukan perbaikan.

Kedelapan belas ‘Prasaja’ :Artinya seorang pemimpin supaya berpola hidup sederhana (Aparigraha), tidak berfoya-foya atau serba gemerlap.



Dalam Titah Sambutan Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung pada acara Penobatan Gajah Tongga Koto Piliang tanggal 12 Desember 2002 di Nagari Silungkang, Kotamadya Sawahlunto, mengatakan sebagai berikut :

Langgam Nan Tujuah Koto Piliang ini merupakan Pembantu Utama dari Rajo nan Tigo Selo dibawah koordinasi Basa Ampek Balai. Gajah Tongga Koto Piliang ini adalah Panglima wilayah selatan dalam alam Minangkabau.

Di bawah pimpinan Gajah Tongga Koto Piliang inilah pasukan hulubalang Minangkabau dapat mengalahkan dan menghancurkan serangan dari pasukan Singosari yang dikenal dengan ekspedisi Pamalayu I pada tahun 1276 Masehi. Pertempuran besar-besaran ini terjadi di suatu lembah sempit yang pada waktu itu dikenal dengan Lembah Kupitan dan Sungai Batang Kariang.

Karena banyaknya mayat-mayat bergelimpangan dan tidak sempat dikuburkan sehingga menimbulkan bau yang sangat busuk sehingga tempat itu dan sekitarnya dikenal kemudian dengan nama Padang Sibusuak.

Perlu juga dicatat para peristiwa pertempuran besar-besaran tersebut muncullah hulubalang muda yang dengan gemilang dan tangkasnya membantu Gajah Tongga Koto Piliang dalam mengalahkan pasukan Singosari. Hulubalang muda itu adalah Gajah Mada yang dikenal kemudian dengan Maha Patih Kerajaan Majapahit.


Prasasti Gajah Mada
Transliterasi ke aksara latin:

1. //0// i śaka. 1213. jyeşta māsa. i rika diwaśani
2. kamoktan pāduka bhaţāra saŋ lumah ri śiwabuddha //0// swa
3. sti śri śakawarsatita. 1273. weśaka māsa.tithi pratipā
4. da śuklapakşa. ha. po. bu. wara. tolu. niritiştha graham
5. cara. mŗgaśira naksatra. śaśi dewata. bāyabya maņdala
6. sobhana yoga. śweta mahurtta. brahma parwweśa. kiŋstughna
7. kāraņa. wrşabha raśi. i rika diwaśa saŋ mahāmntrimukya. ra
8. kryan mapatih mpu mada. sakşat pranalakta rāsika de bhaţā
9. ra saptaprabhu. makādi śri tribhuwanotungadewi mahārā
10. jasa jayawişņuwārddhani. potrapotrikā de pāduka bha
11. ţāra śri kŗtanāgarajnaneswarabajra namābhişekā. sama
12. nkana twak rakryan mapatih jirņnodhara. pakirtti caitya ri
13. mahābrāhmāņa. śewasaugata. samāndulur i kamokta
14. n pāduka bhaţāra. muwah saŋ mahāwrddhamantri linā ri dagan
15. bhatāra. doniŋ caitya de rakryan mapatih panabhaktya
16. nani santana pratisantana saŋ paramasatya ri pādadwaya bhaţā
17. ra. ika ta kirtti rakryan mapatih ri yawadwipamandala //

Terjemahan ke bahasa Indonesia:

1. Pada tahun śaka 1213, bulan Jyesta, pada waktu itu saat
2. wafatnya Paduka Bhatara yang di”makam”kan di Śiwabuddha.
3. Selamat, tahun saka telah lewat 1273, pada bulan Weśakha, pada tanggal
4. pertama paro terang, pada hari-hari Haryang, Pon dan Rabu, pada waktu wuku Tolu, pada waktu planet ada di
5. konstelasi ada di Mŗgaśira, dewatanya Śaśi, mandala ada di barat laut
6. yoganya Sobhana, pada jam Śweta, parwweśa-nya Brahma, karana-nya Kiŋstughna,
7. rasi Taurus, pada waktu itu Saŋ Mahamenteri terkemuka,
8. rakryan mapatih Mpu Mada, yang seolah-olah sebagai yoni bagi bhatara
9. Sapta Prabhu, dengan yang terutama di antaranya ialah Śtri Tribhuwantotungadewi
10. Mahārājasa Jayawisnuwarddhani, cucu-cucu putra dan putri paduka
11. Bhatara Śri Krtanagarajnaneśwarabraja Namābhisekā. Pada
12. waktu itu saat Rakryan Mapatih Jirnnodhara membuat caitya
13. bagi para berahmana tertinggi Siwa dan Buddha, yang mengikuti wafatnya
14. paduka Bhatara, dan saŋ Mahāwrddhamantri (= Mpu Raganatha) yang gugur di kaki
15. Bhatara. Adapun tujuan dari pembuatan caitya itu oleh Rakryan Mapatih ialah untuk tempat pemberian bakti
16. sanak saudara dari mereka yang amat setia terhadap dua kaki Bhatara.
17. Demikianlah perbuatan yang baik dari Rakryan Mapatih di Mandala pulau Jawa.


Ditulis oleh Boechari pada tanggal 23 Agustus 1986
Dikutip dari L.Mardiwarsito, 1990, Kamus Jawa Kuno-Indonesia, hal: ii –iii, Cet. Ke IV, Ende: Nusa Indah.


Keterangan:
Prasasti berisi tentang pembangunan caitya (bangunan suci) pada tahun 1273 Saka (1351 Masehi) untuk para brahmana Siwa dan Buddha di lingkungan sekitar pedharman (percandian) Śri Krtanagarajnaneśwarabraja (kertanegara) di Singosari (Siwabudha) yang wafat pada tahun 1213 Saka (1291 Masehi) sebagai tempat pemberian bakti sanak saudara (keturunan Kertanegara) yang setia kepadanya. Hadir pula Patih Gajah Mada (inspirator?) tokoh utama Majapahit dan penasehat raja (sapta prabhu) yaitu Tribhuwantotungadewi yang tidak lain adalah ibu dari Maharaja Hayam Wuruk. Pada saat pembuatan prasasti tersebut Maharaja Hayam Wuruk baru menjabat selama 1 (satu) tahun masa pemerintahannya. Sehingga sangatlah wajar jika upaya awal adalah mempersatukan klan (keluarga besar) Rajasa di sekitar Ibukota Majapahit.

Isu di belakang petilasan Joyo Kusumo di Purworejo ini menarik. Bahwa lekukan di batu serupa meja yang diyakini oleh banyak orang sebagai tempat samadi puteranda Hayam Wuruk itu, adalah cetakan alat kelamin beliau karena Joyo Kusumo bertapa tanpa selembar benang pun yang melekat di tubuhnya bertahun-tahun.

Pangeran itu melarikan diri dari negerinya, Majapahit, karena kekasih dia dinikahkan oleh ayahnya dengan putera kerajaan Pajajaran. Perkimpoian politik ini menjadikan Joyo Kusumo patah hati. Bersama adik kandungnya, Ni Galuhwati, ia pun babat alas.

Dan menghabiskan sisa hidupnya di Banyuurip. Sambil prihatin karena Galuhwati berat jodoh, karena itu pulalah Pangeran Joyo Kusumo samadi bertahun-tahun. Sampai akhirnya Galuh dipertemukannya dengan Ki Manguyu, pemuda tampan sakti yang lantas disebut-sebut sebagai putera Mahapatih Gajahmada. Ksatria itu, diutus oleh Prabu Hayam Wuruk untuk melacak dua anaknya yang hilang.

Karena latar belakang cinta itukah, petilasan Banyuurip banyak dikunjungi perempuan? Tapi anehnya, mayoritas peziarah tengah mengandung. Dan lebih banyak lagi, yang datang dalam rangka nujuh-bulanan.

Pria-pria pencari derajat-pangkat pun lelaku di sana. Datang dari kota-kota jauh, bahkan dengan menyewa mobil.

“Sirikannya, jangan melecehkan dan jangan mencuri” kata juru kunci Sumarto (57), yang lebih dari jumlah jari menemukan peziarah linglung, berjalan mengelilingi kompleks Banyuurip tanpa sadar, atau lari terbirit-birit tanpa sebab, pernah juga ada seorang lelaki menuntun sepeda di tengah sungai, ia merasa sedang mengantar pulang seorang perempuan cantik. Di samping batu hitam dengan lekukan yang diyakini bekas penis Joyo Kusumo, ada pula Sumur Beji yang dipercaya muncul karena Ki Dalang, tombak sang-pangeran. Ada lagi Sumur Pinatah, yang menurut juru kunci dibuat oleh Ki Manguyu dengan cara menatah. Konon di akhir hidup Pangeran Joyo Kusumo mokswa menjadi keris Pabubiru.

Thanks to : All Kaskuser

Soal tanah kelar, proyek Jembatan Gedong berlanjut

Ngadirojo
Pembangunan Jembatan Gedong di perbatasan Kecamatan Ngadirojo-Nguntoronadi, akhirnya berjalan setelah pembebasan tanah selesai. Sebelumnya, proyek terganjal gara-gara Ny Suparni, warga Gedong, Ngadirojo enggan melepaskan tanahnya.

Informasi yang dihimpun Espos, Jumat (13/11), pemerataan jalan menuju lokasi jembatan baru terhenti sekitar 20-an hari. Penghentian pekerjaan itu dikarenakan lahan milik Ny Suparni masih bermasalah. Akibatnya, proses pembangunan jembatan penghubung Wonogiri-Pacitan terhenti. Jembatan tersebut bergeser akibat terpaan air bah pada bencana alam Desember 2007.
Karena tiang tergeser maka arus lalu lintas hanya menggunakan satu sisi, yakni sisi timur dan kendaraan harus antre melewatinya.
Camat Ngadirojo Maryanto mengakui selesainya pembebasan tanah di lokasi itu. “Awal pekan ini Bu Parni sepakat soal ganti rugi. Rembukan dilakukan di rumah Bu Parni dan pihak pelaksana langsung membayar kontan ganti rugi senilai Rp 65 jutaan.”
Maryanto menjelaskan kesepakatannya harga tanah sesuai ajuan pemerintah yakni Rp 72.000/m2. Informasi lain yang diperoleh Espos, ganti rugi diselesaikan setelah pengurus Organda Wonogiri turun tangan. Organda mengaku prihatin tidak cepatnya pembangunan jembatan.
Sebelumnya warga menolak ganti rugi yang diberikan pemerintah senilai Rp 72.000/m2. Mereka menuntut ganti rugi Rp 200.000/m2.