GAJAH MADA


Asal-usul Gajah Mada masih menjadi misteri bagi semua orang. Bahkan para ahli sejarah pun belum ada yang bisa menelusuri riwayat hidup tokoh ini. Negarakertagama yang banyak berisi tentang cerita seputar Majapahit pun mulai memasukkan tokoh ini ketika terjadi pemberontakan Kuti. Padahal Mpu Prapanca, penulis Negarakertagama hidup sejaman dengan Gajah Mada.

Tulisan ini berangkat dari rasa penasaran saya terhadap asal-usul Gajah Mada yang masih gelap. Yang akhirnya menggerakkan hati saya untuk mencoba mengadakan riset kecil-kecilan dengan menggunakan fasilitas mesin pencari. Meskipun tidak ada satupun yang secara jelas menunjukkan asal-usul Gajah Mada. Dan di bawah ini merupakan rangkuman dari beberapa tulisan-tulisan lepas yang pernah saya baca serta diskusi-diskusi yang saya ikuti dalam milis, hingga akhirnya saya berani mengambil kesimpulan kalau Gajah Mada bukan orang Jawa. Berikut ini alasan-alasan yang mendasari saya berkesimpulan seperti itu.

Gajah bukan hewan khas Jawa

Seperti kita kita ketahui bersama, jaman dahulu nama orang identik atau disimbolkan dengan nama-nama hewan . Raja Majapahit yang terkenal, H(ayam) Wuruk sendiri mempunyai arti ayam jantan. Beberapa nama hewan yang biasa dipakai antara lain : Mahesa(Sapi), Lembu, Kebo, Banyak (Angsa) dll.

Menurut Nagarakretagama, Mahesa Cempaka memiliki anak Dyah Lembu Tal yang diberi gelar Dyah Singhamurti dan kemudian menurunkan Raden Wijaya.

Ronggolawe, adalah putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja bupati Sumenep yang membantu Raden Wijaya saat dikejar-kejar tentara JayaKatwang.

Mahesa Anabrang, atau juga disebut dengan nama Kebo Anabrang dan Lembu Anabrang, adalah seorang mantan senapati Singasari (Ketua Ekspedisi Pamalayu) yang membunuh Ranggalawe, pada saat Ranggalawe memberontak pada Majapahit.

Dara Petak (harafiah berarti “Merpati Putih”) adalah istri kelima dari Raden Wijaya, merupakan putri dari Raja Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa dari Kerajaan Dharmasraya. Dari perkimpoiannya dengan Raden Wijaya, Dara Petak melahirkan seorang putra yaitu Kalagemet atau Sri Jayanegara yang menjadi penerus tahta ayahnya di Majapahit.

Diantara nama-nama yang menghiasi perjalanan sejarah Majapahit, bahkan kerajaaan sebelumnya ataupun sesudahnya nama-nama seperti itulah yang populer dipakai oleh golongan bangsawan maupun rakyat biasa. Karena hewan-hewan itu ada di lingkungan mereka. Kecuali untuk nama hewan gajah, kita hanya mendapati satu nama, yaitu Gajah Mada. Berangkat dari sinilah saya berani mengatakan kalau Gajah Mada bukan orang Jawa.

Gajah Mada berasal dari Sumatra?

Satu-satunya pulau di Indonesia yang ada gajahnya adalah Sumatra. Yang pusat koservasinya ada di Way Kambas, Jambi. Dan kalau dilihat dari catatan sejarah, ada benang merah yang dapat ditarik.

Seperti tulisan saya diatas, Dara Petak berasal dari Kerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini lokasinya ada di Sumatra, seperti kutipan dibawah yang saya ambil dari Wikipedia.

Kerajaan Dharmasraya atau Kerajaan Melayu Jambi adalah kerajaan yang terletak di Sumatra, berdiri sekitar abad ke-11 Masehi. Lokasinya terletak di selatan Sawahlunto, Sumatera Barat sekarang, dan di utara Jambi.

Hubungan antara Mahesa (Kebo) Anabrang,Dara Petak, Dara Jingga,Adityawarman dan Jayanegara.

Diduga kuat Mahesa Anabrang ini adalah orang yang sama dengan tokoh yang dikenal sebagai Adwaya Brahman atau Adwayawarman, ayah dari Adityawarman yang disebutkan dalam Prasasti Kuburajo I di Kuburajo, Limo Kaum, dekat Batusangkar, Sumatera Barat. Menurut pembacaan Prof. H. Kern yang diterbitkan tahun 1917, tertulis bahwa batu prasasti itu “dikeluarkan oleh Adityawarman, yang merupakan putra dari Adwayawarman dari keluarga Indra. Dinyatakan juga bahwa Adityawarman menjadi raja di Kanakamedini (Swarnadwipa)“.

Dara Jingga adalah putri dari Tribuanaraja Mauliawarmadewa, raja Kerajaan Dharmasraya dan juga merupakan kakak kandung dari Dara Petak. Dara Jingga memiliki sebutan sira alaki dewa — dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa — dinikahi oleh Adwaya Brahman, pemimpin Ekspedisi Pamalayu.

Nama tokoh ini juga ditemukan pada prasasti yang tertulis di alas arca Amoghapasa, yang ditemukan di Padang Roco, dekat Sei Langsat, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Menurut pembacaan R. Pitono, tertulis bahwa arca itu adalah hadiah perkimpoian Kertanagara kepada seorang bangsawan Sumatera, dan “bersama dengan keempat belas pengiringnya dan saptaratna, dibawa dari Bhumi Jawa ke Swarnnabhumi” dan bahwa “Rakyan Mahamantri Dyah Adwayabrahma” adalah salah seorang pengawal arca tersebut.

Setelah berhasil melaksanakan tugasnya, Mahesa Anabrang membawa Dara Jingga beserta keluarganya dan Dara Petak kembali ke Pulau Jawa untuk menemui Kertanegara, raja yang mengutusnya. Setelah sampai di Jawa, ia mendapatkan bahwa Sang Kertanegara telah tewas dan Kerajaan Singasari telah musnah oleh Jayakatwang, raja Kadiri.

Oleh karena itu, Dara Petak, adik Dara Jingga kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya, yang kemudian memberikan keturunan Raden Kalagemet atau Sri Jayanegara, raja Majapahit ke-2. Dengan kata lain, raja Majapahit ke-2 adalah keponakan Mahesa Anabrang dan sepupu Adityawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyung.

Berdasarkan catatan-catatan diatas, saya berkesimpulan, saat Mahesa Anabrang membawa Dara Jingga dan Dara Petak dari Sumatra ke Jawa, Gajah Mada termasuk dalam rombongan tersebut yang bertugas untuk mengawal keselamatan putri raja mereka sekaligus sebagai duta dari Kerajaan Darmasraya. Atau malah Gajah Mada ditugaskan secara khusus untuk menjadi pengawal pribadi Dara Petak. Yang akhirnya tinggal dan menetap di Majapahit mengikuti tuannya yang menjadi permaisuri raja Majapahit

’Pustaka Hasta Dasa Parateming Prabu’

NENEK moyang bangsa di Nusantara ini mempunyai beberapa pegangan untuk dipergunakan di dalam memimpin masyarakatnya. Kebanyakan sudah terkristalisasi dalam berbagai bentuk tembang dan juga nasihat luhur. Di antara yang paling menonjol adalah pegangan yang dipergunakan oleh Mahapatih Gajahmada ketika memimpin Majapahit.

“Pustaka Hasta Dasa Parateming Prabu” atau 18 ilmu kepemimpinan. Pitutur luhur ini pernah diterapkan Maha Patih Gajah Mada pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit di bumi Nusantara ini. Ke 18 prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut permulaannya disebut

‘Wijaya’. Artinya pemimpin harus mempunyai jiwa tenang, sabar dan bijaksana serta tidak lekas panik dalam menghadapi berbagai macam persoalan. Hanya dengan jiwa yang tenang masalah akan dapat dipecahkan.

Kedua ‘Mantriwira’; Artinya pemimpin harus berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh tekanan dari pihak manapun.

Ketiga ‘Natangguan’; Artinya pemimpin harus mendapat kepercayaan dari masyarakat dan berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan tersebut sebagai tanggung jawab dan kehormatan.

Keempat ‘Satya Bhakti Prabhu’; Pemimpin harus memiliki loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi dan bertindak dengan penuh kesetiaan demi nusa dan bangsa.

Kelima ‘Wagmiwak’; Pemimpin harus mempunyai kemampuan mengutarakan pendapatnya, pandai berbicara dengan tutur kata yang tertib dan sopan serta mampu menggugah semangat masyarakatnya.

Keenam ‘Wicaksaneng Naya’; Artinya pemimpin harus pandai berdiplomasi dan pandai mengatur strategi dan siasat.

Ketujuh ‘Sarjawa Upasama’; Artinya seorang pemimpin harus rendah hati, tidak boleh sombong, congkak, mentang-mentang jadi pemimpin dan tidak sok berkuasa.

Kedelapan ‘Dhirotsaha’ ; Artinya pemimpin harus rajin dan tekun bekerja, memusatkan rasa, cipta, karsa dan karyanya untuk mengabdi kepada kepentingan umum.

Kesembilan ‘Tan Satrsna’ ; Maksudnya seorang pemimpin tidak boleh pilih kasih terhadap salah satu golongan, tetapi harus mampu mengatasi segala paham golongan, sehingga dengan demikian akan mampu mempersatukan seluruh potensi masyarakatnya untuk menyukseskan cita-cita bersama.

Kesepuluh ‘Masihi Samasta Bhuwana’; Maksudnya seorang pemimpin mencintai alam semesta dengan melestarikan lingkungan hidup sebagai karunia Tuhan dan mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat.

Kesebelas ‘Sih Samasta Bhuwana’; Maksudnya seorang pemimpin dicintai oleh segenap lapisan masyarakat dan sebaliknya pemimpin mencintai rakyatnya.

Keduabelas ‘Negara Gineng Pratijna’; Maksudnya seorang pemimpin senantiasa mengutamakan kepentingan negara dari pada kepentingan pribadi ataupun golongan, maupun keluarganya.

Ketigabelas ‘Dibyacitta’ ; Maksudnya seorang pemimpin harus lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain atau bawahannya (akomodatif dan aspiratif).

Keempatbelas ‘Sumantri’ ; Maksudnya seorang pemimpin harus tegas, jujur, bersih dan berwibawa.

Kelimabelas ‘Nayaken Musuh’ ; Maksudnya dapat menguasai musuh-musuh, baik yang datang dari dalam maupun dari luar, termasuk juga yang ada di dalam dirinya sendiri.

Keenambelas ‘Ambek Parama Artha’; Maksudnya pemimpin harus pandai menentukan prioritas atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan kepentingan umum.

Ketujubelas ‘Waspada Purwa Artha’; pemimpin selalu waspada dan mau melakukan mawas diri (introspeksi) untuk melakukan perbaikan.

Kedelapan belas ‘Prasaja’ :Artinya seorang pemimpin supaya berpola hidup sederhana (Aparigraha), tidak berfoya-foya atau serba gemerlap.



Dalam Titah Sambutan Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung pada acara Penobatan Gajah Tongga Koto Piliang tanggal 12 Desember 2002 di Nagari Silungkang, Kotamadya Sawahlunto, mengatakan sebagai berikut :

Langgam Nan Tujuah Koto Piliang ini merupakan Pembantu Utama dari Rajo nan Tigo Selo dibawah koordinasi Basa Ampek Balai. Gajah Tongga Koto Piliang ini adalah Panglima wilayah selatan dalam alam Minangkabau.

Di bawah pimpinan Gajah Tongga Koto Piliang inilah pasukan hulubalang Minangkabau dapat mengalahkan dan menghancurkan serangan dari pasukan Singosari yang dikenal dengan ekspedisi Pamalayu I pada tahun 1276 Masehi. Pertempuran besar-besaran ini terjadi di suatu lembah sempit yang pada waktu itu dikenal dengan Lembah Kupitan dan Sungai Batang Kariang.

Karena banyaknya mayat-mayat bergelimpangan dan tidak sempat dikuburkan sehingga menimbulkan bau yang sangat busuk sehingga tempat itu dan sekitarnya dikenal kemudian dengan nama Padang Sibusuak.

Perlu juga dicatat para peristiwa pertempuran besar-besaran tersebut muncullah hulubalang muda yang dengan gemilang dan tangkasnya membantu Gajah Tongga Koto Piliang dalam mengalahkan pasukan Singosari. Hulubalang muda itu adalah Gajah Mada yang dikenal kemudian dengan Maha Patih Kerajaan Majapahit.


Prasasti Gajah Mada
Transliterasi ke aksara latin:

1. //0// i śaka. 1213. jyeşta māsa. i rika diwaśani
2. kamoktan pāduka bhaţāra saŋ lumah ri śiwabuddha //0// swa
3. sti śri śakawarsatita. 1273. weśaka māsa.tithi pratipā
4. da śuklapakşa. ha. po. bu. wara. tolu. niritiştha graham
5. cara. mŗgaśira naksatra. śaśi dewata. bāyabya maņdala
6. sobhana yoga. śweta mahurtta. brahma parwweśa. kiŋstughna
7. kāraņa. wrşabha raśi. i rika diwaśa saŋ mahāmntrimukya. ra
8. kryan mapatih mpu mada. sakşat pranalakta rāsika de bhaţā
9. ra saptaprabhu. makādi śri tribhuwanotungadewi mahārā
10. jasa jayawişņuwārddhani. potrapotrikā de pāduka bha
11. ţāra śri kŗtanāgarajnaneswarabajra namābhişekā. sama
12. nkana twak rakryan mapatih jirņnodhara. pakirtti caitya ri
13. mahābrāhmāņa. śewasaugata. samāndulur i kamokta
14. n pāduka bhaţāra. muwah saŋ mahāwrddhamantri linā ri dagan
15. bhatāra. doniŋ caitya de rakryan mapatih panabhaktya
16. nani santana pratisantana saŋ paramasatya ri pādadwaya bhaţā
17. ra. ika ta kirtti rakryan mapatih ri yawadwipamandala //

Terjemahan ke bahasa Indonesia:

1. Pada tahun śaka 1213, bulan Jyesta, pada waktu itu saat
2. wafatnya Paduka Bhatara yang di”makam”kan di Śiwabuddha.
3. Selamat, tahun saka telah lewat 1273, pada bulan Weśakha, pada tanggal
4. pertama paro terang, pada hari-hari Haryang, Pon dan Rabu, pada waktu wuku Tolu, pada waktu planet ada di
5. konstelasi ada di Mŗgaśira, dewatanya Śaśi, mandala ada di barat laut
6. yoganya Sobhana, pada jam Śweta, parwweśa-nya Brahma, karana-nya Kiŋstughna,
7. rasi Taurus, pada waktu itu Saŋ Mahamenteri terkemuka,
8. rakryan mapatih Mpu Mada, yang seolah-olah sebagai yoni bagi bhatara
9. Sapta Prabhu, dengan yang terutama di antaranya ialah Śtri Tribhuwantotungadewi
10. Mahārājasa Jayawisnuwarddhani, cucu-cucu putra dan putri paduka
11. Bhatara Śri Krtanagarajnaneśwarabraja Namābhisekā. Pada
12. waktu itu saat Rakryan Mapatih Jirnnodhara membuat caitya
13. bagi para berahmana tertinggi Siwa dan Buddha, yang mengikuti wafatnya
14. paduka Bhatara, dan saŋ Mahāwrddhamantri (= Mpu Raganatha) yang gugur di kaki
15. Bhatara. Adapun tujuan dari pembuatan caitya itu oleh Rakryan Mapatih ialah untuk tempat pemberian bakti
16. sanak saudara dari mereka yang amat setia terhadap dua kaki Bhatara.
17. Demikianlah perbuatan yang baik dari Rakryan Mapatih di Mandala pulau Jawa.


Ditulis oleh Boechari pada tanggal 23 Agustus 1986
Dikutip dari L.Mardiwarsito, 1990, Kamus Jawa Kuno-Indonesia, hal: ii –iii, Cet. Ke IV, Ende: Nusa Indah.


Keterangan:
Prasasti berisi tentang pembangunan caitya (bangunan suci) pada tahun 1273 Saka (1351 Masehi) untuk para brahmana Siwa dan Buddha di lingkungan sekitar pedharman (percandian) Śri Krtanagarajnaneśwarabraja (kertanegara) di Singosari (Siwabudha) yang wafat pada tahun 1213 Saka (1291 Masehi) sebagai tempat pemberian bakti sanak saudara (keturunan Kertanegara) yang setia kepadanya. Hadir pula Patih Gajah Mada (inspirator?) tokoh utama Majapahit dan penasehat raja (sapta prabhu) yaitu Tribhuwantotungadewi yang tidak lain adalah ibu dari Maharaja Hayam Wuruk. Pada saat pembuatan prasasti tersebut Maharaja Hayam Wuruk baru menjabat selama 1 (satu) tahun masa pemerintahannya. Sehingga sangatlah wajar jika upaya awal adalah mempersatukan klan (keluarga besar) Rajasa di sekitar Ibukota Majapahit.

Isu di belakang petilasan Joyo Kusumo di Purworejo ini menarik. Bahwa lekukan di batu serupa meja yang diyakini oleh banyak orang sebagai tempat samadi puteranda Hayam Wuruk itu, adalah cetakan alat kelamin beliau karena Joyo Kusumo bertapa tanpa selembar benang pun yang melekat di tubuhnya bertahun-tahun.

Pangeran itu melarikan diri dari negerinya, Majapahit, karena kekasih dia dinikahkan oleh ayahnya dengan putera kerajaan Pajajaran. Perkimpoian politik ini menjadikan Joyo Kusumo patah hati. Bersama adik kandungnya, Ni Galuhwati, ia pun babat alas.

Dan menghabiskan sisa hidupnya di Banyuurip. Sambil prihatin karena Galuhwati berat jodoh, karena itu pulalah Pangeran Joyo Kusumo samadi bertahun-tahun. Sampai akhirnya Galuh dipertemukannya dengan Ki Manguyu, pemuda tampan sakti yang lantas disebut-sebut sebagai putera Mahapatih Gajahmada. Ksatria itu, diutus oleh Prabu Hayam Wuruk untuk melacak dua anaknya yang hilang.

Karena latar belakang cinta itukah, petilasan Banyuurip banyak dikunjungi perempuan? Tapi anehnya, mayoritas peziarah tengah mengandung. Dan lebih banyak lagi, yang datang dalam rangka nujuh-bulanan.

Pria-pria pencari derajat-pangkat pun lelaku di sana. Datang dari kota-kota jauh, bahkan dengan menyewa mobil.

“Sirikannya, jangan melecehkan dan jangan mencuri” kata juru kunci Sumarto (57), yang lebih dari jumlah jari menemukan peziarah linglung, berjalan mengelilingi kompleks Banyuurip tanpa sadar, atau lari terbirit-birit tanpa sebab, pernah juga ada seorang lelaki menuntun sepeda di tengah sungai, ia merasa sedang mengantar pulang seorang perempuan cantik. Di samping batu hitam dengan lekukan yang diyakini bekas penis Joyo Kusumo, ada pula Sumur Beji yang dipercaya muncul karena Ki Dalang, tombak sang-pangeran. Ada lagi Sumur Pinatah, yang menurut juru kunci dibuat oleh Ki Manguyu dengan cara menatah. Konon di akhir hidup Pangeran Joyo Kusumo mokswa menjadi keris Pabubiru.

Thanks to : All Kaskuser

8 komentar:

Gambar mengatakan...

Gajah asli Jawa sekarang sudah punah kalo jaman dahulu tentu masih ada. Penelitian menunjuukan gajah ras jawa yang tersisa ada kalimantan

SUGHIE mengatakan...

Oke bos..segala kemungkinan tetap ada..saya hanya melihat bahwa sosok Gajah Mada itu tidak identik dengan Jawa..tapi lebih kepada sosok yang mencintai negaranya secara lahir dan batin..Tulisan ini muncul karena adanya beberapa forumer dari Malaysia yg memandang bahwa negara kita ini terbentuk dari keserakahan orang Jawa..dari jaman Gajah Mada, Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Yang Paling Baru ini 'kebetulan' dipimpin orang Jawa..saya hanya ingin mengatakan bahwa Nusantara ini bukan hasil dari monopoli Jawa saja tapi hasil jerih payah seluruh Rakyat Indonesia..
(Aku orang Jawa tulen)

Unknown mengatakan...

Menurutku Gajah Mada Asli Jawa,tapakanya da di Kali Gajah Wong Jogjakarta...

Ariando E.S. Mering mengatakan...

Sekelompok orang telah membuat waswas para pembesar dayak, itu adalah kelompok pendatang dari negeri China, kedatangan mereka yang berambisi menguasai atau menguras kekayaan Kalimantan bagian barat itu membuat para sesepuh harus mengadakan rapat penting diantara mereka, akhirnya diputuskan untuk mengutus Patih Gajah Mada ke Jawa untuk memperkuat Majapahit satu-satunya kerajaan yang dipandang mampu mengimbangi kekuatan kelompok China itu kelak.
Gajah Mada yang memiliki dendam pribadi terhadap bapaknya yang pedagang China yang telah menelantarkan ibunya begitu saja segera menerima tugas berat ini.
Gajah Mada asli orang Dayak yang berasal dari Kalimantan Barat, asal usul kampungnya yaitu di Kecamatan Toba (Tobag), Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat (saat ini) Gajah Mada adalah orang Dayak, hal itu berkaitan dengan kisah tutur tinular masyarakat Dayak Tobag, Mali, Simpang dan Dayak Krio yang menyatakan Gajah Mada adalah orang Dayak. Ada sedikit perubahan nama dari Gajah Mada pada Dayak Krio menjadi Jaga Mada bukan Gajah Mada namun Dayak lainnya menyebutnya dengan Gajah Mada.
Sebutan itu sudah ada sejak lama dan Gajah Mada dianggap salah satu Demung Adat yang hilang. Sebenarnya ia diutus raja-raja di Kalimantan. Ia berasal dari sebuah kampung di wilayah Kecamatan Toba (saat ini).
Dalam kisah Patih Gumantar Dayak Kanayatn (Dayak Ahe) Kalimantan Barat bahwa Patih Gajah Mada adalah saudaranya Patih Gumantar, mereka ada 7 bersaudara. (Baca Buku, Mencermati Dayak Kanyatan)
Satu lagi soal nama Patih Gajah Mada bahwa gelar Patih itu sendiri hanya ada di Kalimantan khususnya Kalbar dan satu-satunya patih di Jawa adalah Gajah Mada itu sendiri, tidak ada patih lain dan itu membuktikan bahwa gelar "Patih" berasal dari silsilah kerajaan di Kalimantan bukan dari Jawa.

iwan mengatakan...

Penelitian anda hanya berdasarkan googling tanpa disertai sumber valid yang lain.
Pertama hanya dengan asumsi bahwa gajah hanya terdapat di sumatera / luar jawa adalah salah. Asumsi harus dibuktikan dengan penelitian yg valid. Dan hanya dengan anggapan tersebut, lalu dihubungkan dengan tambo minang yang mengkaitkan dgn nama "gajah" maka gajah mada adalah "gajah" dari minang kabau (yang sampai sekarang tambo minang 80-90% belum bisa dibuktikan kebenarannya). Perlu anda ketahui, sampai hari ini sejarah asal usul Minangkabau hingga sejarah kerajaan-kerajaannya masih gelap, karena belum pernah ditemukan teks asli riwayat Minangkabau--saya bahkan sudah pergi ke istana Pagaruyung sebelum peristiwa kebakaran untuk mencari data tertulis tentang sejarah Minangkabau, bahkan ke gedung pustaka daerah di daerah lubuk minturun/daerah balimbiang kecamatan kuranji--tak ditemukan apa pun, kecuali kumpulan data-data yang penulisnya sendiri pun kurang yakin kevalidannya. mengenai tambo minang tak bisa dijadikan ukuran karena hanya berdasarkan tutur tinular dan setiap daerah di Minangkabau punya versi yang berbeda. sejarah Minangkabau hingga awal kedatangan penjajah adalah kabur bahkan boleh dibilang gelap gulita karena dibumbui cerita-cerita khurafat yang tak jelas pembuktiannya.
Kedua Mengenai "Gajah” . Di Jawa, banyak orang bernama Gajah, seperti Gajah Mada, Gajah Biru, Gajah Sura. Banyak tempat juga bernama gajah, misalnya : Goa Gajah Wong, Bendungan Gajah Mungkur, Kecamatan Gajah, Pasir Gajah. Ada pula tanaman bernama Kuping Gajah, Lempuyang Gajah, Jahe Gajah. Kalau binatang ada Kupu Gajah. Di bahasa Jawa, gajah disebut juga dengan Liman atau Ngliman (artinya tempatnya liman, tempatnya gajah), maka banyak nama Liman, misalnya Gunung Liman, Toko Liman, tanaman Tapak Liman (tapak gajah), Kampung Ngliman.
Bahkan di Candi Borobudur yang dibangun tahun 800 Masehi juga terdapat relief gajah (berarti raja dan arsiteknya dari Sumatera kalau dari asumsi anda) . Semua ini menunjukkan bahwa jaman dulu banyak gajah di Pulau Jawa.
Kalaupun di pulau Jawa tidak ada “gajah”, maka sebelum gajah mada lahir penduduk jawa sudah tahu perihal binatang berbelalai panjang ini, lambang ganesha sudah ada sebelum Majapahit ada, bahkan sebelum Singasari (nah …. Apakah pendiri kerajaan Singhasari dari Afrika).

iwan mengatakan...

pendapat anda:"Oke bos..segala kemungkinan tetap ada..saya hanya melihat bahwa sosok Gajah Mada itu tidak identik dengan Jawa"..(aneh), pendapat anda sangat-sangat aneh..dan terasa dipaksakan, apakah krn--misalnya jika memang tidak ada gajah di p. jawa--maka nama tersebut tidak identik...jadi bagaimana dengan gajah biru sebelum gajah mada, Gajah adalah lambang yang sudah dikenal jauh sebelum majapahit lahir, karena gajah adalah lambang sakral (ganesha)maka nama-namyang berawal dengan gajah sudah dipakai oleh orang-orang di jawa sebelum gajah mada lahir. Bagaimana dengan nama Singasari? atau Sima? bahkan nama ini yang justru "binatangnya" belum pernah ditenui di pulau jawa (atau singa mmg pernah ada di jawa),apakah nama yang memakai kata singa atau sima tidak identik dengan jawa? ataukah mereka orang-orang afrika yang datang ke jawa?

IstiawanHadi mengatakan...

wah ceritanya menyangkut desa saya itu, Banyuurip

Wayan mengatakan...

cerita yang penuh teka-teki..memang benar asal usul Gajah mada sampai saat ini belum ada yg jelas...thax artikelnya