Produksi brem Nguntoronadi anjlok

Nguntoronadi
Hasil produksi brem putih khas Nguntoronadi anjlok lantaran pengrajin memilih memanen mangga dan menjualnya ke pasar. Mereka menilai berjualan mangga lebih menguntungkan dibandingkan memproduksi brem.

Untuk memproduksi brem, pengrajin membutuhkan waktu kurang lebih enam hari untuk memproses tape ketan menjadi olahan brem yang siap saji. Dimulai dari proses pengolahan tape ketan, fermentasi hingga mengeringkannya.
Menurut Ketua RT 1/RW V, Tenggar Lor, Nguntoronadi, Suratno, ada 23 pengrajin brem di Nguntoronadi, 10 pengrajin di antaranya berdomisili di Tenggar Lor. Jika musim mangga, sejumlah pengrajin memilih berjualan di pasar daripada memproduksi brem. “Sekarang ini sedang musim mangga sehingga hasil produksi brem justru anjlok dibandingkan bulan sebelumnya,” jelas dia ketika dijumpai Espos di Tenggar Lor, Rabu (21/10).
Dia mengatakan selain menjual hasil kebun sendiri, mangga didatangkan dari daerah lain. Menurutnya, karena sedang panen harga mangga cenderung lebih murah sehingga hasil yang didapatkan lebih menguntungkan. Satu kilogram mangga jenis manalagi dijual ke tengkulak dengan harga Rp 3.500, sementara harga mangga di pasar dapat mencapai Rp 4.500 per kilogram. “Hasil produksi brem pada saat musim mangga anjlok sekitar 30% karena tidak sedikit pengrajin yang beralih berjualan mangga.”
Sementara itu, pengrajin brem, Yati, mengatakan meskipun sejumlah pengrajin beralih profesi, dirinya tetap memproduksi brem walau pesanannya tidak menentu. Memasuki musim penghujan, dia cenderung mengurangi produksi karena pengeringan brem tidak optimal. “Untuk mengeringkan brem butuh sinar matahari. Jika tidak, hasilnya akan kuning. Sehingga, jumlah produksinya dibatasi.”

0 komentar: