Kembangkan Budi Pekerti lewat Sapta Dharma


BEBERAPA waktu terakhir ini, terutama pascakrisis, situasi kenegaraan dan kebangsaan pada semua sisi carut-marut. Pengangguran melonjak, kriminalitas pun makin tak terkendali. Perampokan, pencurian, dan pembunuhan banyak terjadi. Kabar terakhir ini, seorang anak mantan pejabat menembak pelayan restoran dengan enaknya bak film-film koboi.

Tawuran pelajar ada di mana-mana, pemerkosaan terhadap anak-anak dan perempuan, perdagangan manusia, semua terjadi hampir tiap hari. Semua catatan segala penyimpangan akan terus bertambah dan barangkali bisa menjadi daftar panjang tidak berkesudahan. Belum lagi apabila ditambah dengan korupsi yang dilakukan para politikus dan pejabat negeri ini.

Melihat semua situasi serbatidak keruan tersebut, lantas berkembang guyonan, itulah akibat tidak adanya budi pekerti. Dahulu kala, budi pekerti menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Namun, kemudian dihapus diganti dengan mata pelajaran lain.

Memang, kita tidak bisa menyimpulkan begitu saja, akibat tidak ada mata pelajaran Budi Pekerti lantas semua amburadul. Namun paling tidak, seandainya konsep itu masih tertanam sejak dini, formal ataupun tidak, kemungkinan akan menekan segala bentuk perilaku negatif baik langsung maupun tidak.

Salah satu upaya untuk terus menumbuhkembangkan budi pekerti dilakukan oleh aliran kerohanian Sapta Dharma. Inti dari ajaran aliran yang asal-muasalnya dari tanah Jawa itu adalah menyelaraskan kehidupan manusia dengan alam, sesama, dan Sang Maha Pencipta.

Budi Pekerti Luhur

Ketua Badan Pengurus Yayasan Srati Dharma Pusat Yogyakarta Subiyantoro mengungkapkan, aliran yang intinya pada penggalian budi pakarti luhur itu diterima kali pertama oleh Harjosapuro yang setelah menerima wahyu bergelar rohani Sri Gutomo pada Desember 1952 di Pare, Kediri. Waktu itu, dia merasa tidak enak badan, lantas mengambil tikar dan berusaha tidur di lantai.

Tiba-tiba dia merasakan suatu getaran hebat dan tergerak untuk menghadap ke timur. Di tengah-tengah situasi menggetarkan itu, dia beberapa kali merasa meneriakkan sesuatu. Setelah mengalami peristiwa aneh, dia kemudian menceritakan kepada teman-temannya.

Semula tidak ada yang percaya tetapi setelah semua ikut mengalami akhirnya percaya bahwa ada kekuatan yang mendorong mereka untuk menumbuhkembangkan budi pekerti luhur. Bukan sebatas itu, di tembok rumah Harjosapuro muncul gambar-gambar dan tulisan yang kelak menjadi lambang, nama, serta ajaran-ajaran pokok Sapta Dharma.

Semenjak itulah, berkembang aliran kerohanian yang bernama Sapta Dharma. Kini, ajaran tersebut sudah tersebar di 23 povinsi di Indonesia. Menurut keterangan Subiyantoro, ajaran Sapta Dharma terbuka bagi siapa saja dengan latar belakang berbeda-beda. Tidak ada diskriminasi dalam ''lembaga'' itu.

Belum lama ini, penganut Sapta Dharma berada di Yogyakarta untuk mengadakan sarasehan agung. Mereka melakukan ritual sujud seperti layaknya orang berdoa untuk melakukan penggalian rohani. Dalam sujud tersebut, para penganut meluhurkan Allah yang Mahakuasa, mengakui kesalahan dan bertobat tidak melakukan kesalahan lagi.

Setiap kali sujud, seseorang bisa memakan waktu 1,5 jam bahkan lebih. Waktu tidak bisa membatasi seseorang harus selesai sujud, tergantung pada getaran yang mereka rasakan. Pada tahapan tertentu, seseorang bisa berubah posisi dari semula duduk bersila perlahan-lahan tertunduk sampai kepala menyentuh lantai.

''Ajaran Sapta Dharma yang pada intinya budi pekerti luhur memang untuk menumbuhkan pikiran, sikap, dan perilaku berbudi pekerti luhur setiap insan,'' tuturnya.

Dalam situasi yang sudah kacau balau ini, orang diingatkan kembali akan pentingnya budi pekerti. Sudah muncul suara-suara agar konsep budi pekerti yang mengandung nilai-nilai etika dan moral yang dahulu pernah ada secara formal kembali ditanamkan sejak dini. Semoga para pengambil kebijakan di negeri ini mau melirik dan memikirkan kembali makna budi pekerti
SALAM WARAS...

0 komentar: