Dari Rakyat sampai Bupati Wonogiri Makan Tiwul


Program pemerintah pusat untuk mencukupi kebutuhan rakyat miskin dengan gelontoran beras miskin (raskin) sebanyak 13 kg/keluarga/bulan tidak membuat sebagian besar rakyat miskin di Wonogiri bagian selatan lepas dari makanan tiwul.

Beras menjadi seperti barang pusaka yang sangat berharga yang dikeluarkan saat warga menggelar perhelatan perkawinan, supitan atau, syukuran kelahiran bayi. Banyak petani miskin di wilayah Kecamatan Pracimantoro, Paranggupito, Giritontro, dan desa-desa di bagian selatan yang merupakan penghasil ketela pohon atau gaplek lebih menikmati tiwul (makanan pengganti nasi, terbuat dari bahan baku ketela pohon) ketimbang nasi.

"Rasanya belum disebut makan, kalau belum makan tiwul. Nasi ya ada, tetapi hanya pelengkap. Nasi kita makan ramai-ramai pada saat warga mempunyai hajatan mantu, supitan, atau syukuran kelahiran anak," ungkap Mbah Sastro, 62, petani desa Song Bledeg, Kecamatan Paranggupito di sela-sela merawat tanaman ketela pohon di tegalannya yang lumayan luas. Sejumlah petani berucap sama bahwa setiap hari tiwul menjadi makanan sehari-hari dan nasi hanyalah sebagai pelengkap.

Bupati Wonogiri Begug Poernomosidi sendiri selama ini menjauh dari makanan nasi dan memilih tiwul sebagai pengenyang perutnya sehari-hari. "Makan tiwul sudah menjadi kebutuhan utama perut saya. Dan ini bukan karena saya benci nasi, tetapi ya sudah menjadi kegemaran, seperti orang Papua suka akan sagu ketimbang beras. Dan Insya Allah, saya akan terus makan tiwul," ujarnya kepada Media Indonesia di sela-sela makan siang dengan tiwul di rumah dinasnya, Rabu (17/2).

Terkait keseriusan pemerintah pusat yang berkeinginan melakukan penyebaran raskin sampai pelosok desa, Begug menegaskan, dirinya telah melakukan kontrol secara seksama. Ia melarang aparatnya mengurangi jatah yang sudah ditetapkan, karena pertimbangan ingin membagi rata dan adil kepada rakyat lainnya yang belum mendapatkan.
SUMBER : MEDIA INDONESIA

0 komentar: